Menuntut Gereja Katholik (Kita) Tentang Perceraian

Ini topik yang mungkin membuat percakapan saya dan istri saya menjadi lebih serius. Bukan karena saya ingin memperdebatkan dogma pernikahan tak terceraikan di dalam gereja Katholik, bukan. Saya sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk setia kepada istri dalam pernikahan yang tak terceraikan seumur hidup. Lalu, mengapa kami membahas topik ini di dalam perjalanan-perjalanan santai kami saat weekend di Manila?

Keluarga saya diberi kesempatan berharga untuk hidup di Filipina selama 2 tahun semasa saya menjalankan tugas dari perusahaan di negara dengan mayoritas penduduk beragama Katholik ini. Saya, istri dan anak laki-laki kami tinggal, hidup dan berdinamika bersama orang-orang Katholik di sana. Merayakan hari-hari raya Katholik yang khidmat, mengunjungi gereja-gereja tua peninggalan Spanyol, hingga merayakan Natal yang semaraknya sudah terasa sejak bulan September.

Saya pribadi sudah bolak-balik ke Filipina sejak 2017, lima tahun sebelum kami sekeluarga menetap di sana hingga akhir 2024. Dalam kurun waktu itu pula, lewat penugasan dari perusahaan, saya sempat tinggal selama setengah tahun di Timor Leste; negara dengan penduduk mayoritas Katholik lainnya. Pada kedua negara ini, agama Katholik tidak hanya memiliki peran sentral di dalam kehidupan beragama, tetapi juga mengilhami pikiran-pikiran, pandangan politik dan budaya penduduknya.

Di Manila, beberapa tahun ini menguat seruan dari masyarakat agar negara memperbolehkan perceraian. Spanduk-spanduk dipasang di dekat gereja-gereja, menuntut diperbolehkannya atau dilarangnya perceraian. Ini menjadi polemik karena pernikahan dalam gereja Katholik adalah sekali seumur hidup dan tak terceraikan. Jika dimungkinkan pun, persyaratannya sungguh sangat berat dan prosesnya memakan waktu yang sangat lama. Konsekuensinya bagi pihak yang bercerai pun tidak main-main. Topik ini memantik diskusi antara saya dan istri.

Dua pandangan berbeda, berangkat dari “alam” yang terlihat sama sekali tak berkelindan. Kaum pro-perceraian mengangkat topik kekerasan dalam rumah tangga yang berakar pada masalah ekonomi akut, perselingkuhan, dan perjudian. Ini adalah masalah yang banyak ditemukan di negara miskin dan berkembang, termasuk Timor Leste dan Filipina. Masalahnya nyata, tidak mengada-ada, dan menuntut solusi segera. Perceraian dalam keluarga miskin bukanlah keputusan yang mudah, apalagi bagi wanita yang tidak bekerja. Sulit baginya untuk membangun diri lagi dari awal, di samping melawan stigma sebagai istri atau ibu yang gagal. Maka, apabila perceraian dilihat sebagai solusi, pertimbangannya pasti sudah sangat panjang.

Di sisi lain, kaum anti-perceraian menuduh kaum yang pro sebagai kelompok yang tidak menghargai kesucian perkawinan. Argumennya alkitabiah. Kembali kepada sifat perkawinan tak terceraikan, dan menganjurkan rekonsiliasi alih-alih perceraian. Bagi keluarga-keluarga yang masuk ke dalam kelas ekonomi menengah ke atas, prekondisi ini membuat rekonsiliasi menjadi lebih mungkin. Pada keluarga miskin, situasinya ruwet, rumit, sulit.

Saya berargumen bahwa gereja, lewat sakramen-sakramen dan pelayanannya, belum cukup hadir menaungi para bujangan dan keluarga-keluarga muda. Gereja yang saya maksud adalah, para rohaniwan dan pimpinan gereja, umat awam gereja, serta institusi-institusi sosial gereja termasuk sekolah, universitas, yayasan, dan rumah sakit Katholik. Betul, gereja sudah menyediakan sakramen-sakramen yang mempersiapkan kaum muda mendewasa, hingga mempersiapkannya membangun keluarga. Tapi itu tidak cukup, apalagi untuk tantangan kehidupan berkeluarga hari ini. Sama sekali tidak cukup.

Keluarga muda hari ini dihadapakan pada kesulitan ekonomi karena tingginya biaya hidup, banjir informasi dan disinformasi yang memperrumit komunikasi dalam keluarga, tuntutan gaya hidup di media sosial yang memabukkan, ketergantungan terhadap gadget yang mereduksi kemampuan berdialog, perselingkuhan digital yang melibatkan artificial intelligence dan platform online lainnya, godaan pinjaman dan perjudian online, serta narkoba dan produk adiktif lainnya. Singkatnya, menurut saya masalahnya berakar pada kemampuan keluarga mengelola (1) sumber daya uang dan aset finansial lainnya, (2) relasi dan dialog antarmanusia di dalamnya, serta (3) arus, jenis, dan akurasi informasi yang keluar-masuk dinding-dinding rumah mereka. Uang, informasi, dan cara keluarga berkomunikasi mempengaruhi gaya hidup, penentuan skala prioritas, dan proses pengambilan keputusan-keputusan penting.

Untuk ketiga akar masalah ini, saya ingin berbagi pikiran yang barangkali bisa dipertimbangkan. Pertama, gereja secara serius bekerja sama dengan universitas untuk mendalami isu, merumuskan solusi praktis seputar topik literasi keuangan, komunikasi interpersonal, serta teknologi informasi. Ajak diskusi Departemen Ekonomi dan Bisnis, Komunikasi, Psikologi, dan Teknologi Informasi. Prioritaskan akademisi muda Katholik sebagai mentor calon Krisma dan calon pengantin, dan jadikan profesor-profesor berpengalaman sebagai pembina. Kita sudah bosan mendengarkan ceramah profesor di kelas, apalagi berlanjut di gereja. Biarkan kaum muda Katholik yang terdidik memimpin diskusi yang lebih egaliter dan relevan dengan zamannya.

Kedua, gereja mengambil posisi tegas pada pembatasan konsumsi produk-produk adiktif termasuk minuman keras, media sosial, iklan judi online, iklan pinjaman online, dan rokok. Di negara-negara miskin dan berkembang dengan mayoritas penduduk Katholik, perusahaan minuman keras sangat umum bertengger sebagai perusahaan terbesar. Perusahaan-perusahaan ini biasanya sudah merambah sektor bisnis lain yang langsung menyentuh kebutuhan dasar manusia: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Gereja yang berani mengambil posisi tegas terhadap produk adiktif memang membutuhkan orang-orang yang tidak hanya beriman tetapi juga bernyali.

Ketiga, gereja memperkuat fungsi konseling bagi anak muda dan keluarga. Ini tidak mudah. Sakramen pengampunan dosa tidak cukup menyediakan ruang dialog, dan perannya berpusat pada Romo yang adalah pria dan tidak berkeluarga. Saya tidak sedang meragukan kemampuan Romo memberi konseling, atau mengecilkan peran Romo membina keluarga. Anak muda dan keluarga muda perlu punya ruang di gereja yang nyaman, profesional, dan dapat dipercaya menjaga kerahasiaan masalah mereka. Gereja perlu memikirkan format yang lebih kolaboratif antara rohaniwan gereja dan konselor profesional Katholik yang mengizinkan interaksi yang terbuka namun tertutup, solutif dan dapat dipercaya.

Terakhir, gereja perlu meninjau kembali sikapnya terhadap birth control atau pembatasan kelahiran. Saya sangat setuju gereja tetap tegas hanya mengizinkan perkawinan yang pro-kelahiran anak di dalam keluarga. Tetapi, dalam situasi pasangan tidak dapat memiliki anak karena keterbatasan biologis, gereja perlu lebih proaktif mengupayakan gerakan orang tua asuh atau setidaknya pemberian beasiswa pendidikan. Selain itu, perlu ditinjau kembali sikap gereja terhadap penggunaan alat kontrasepsi. Dalam hidup keluarga yang makin terimpit tekanan ekonomi, jumlah anak perlu dijaga agar kualitas hidup keluarga tetap baik tidak hanya untuk tahun depan, tapi puluhan tahun setelahnya. Kita tentu ingin jumlah keluarga Katholik terus berkembang, tetapi yang tidak kalah penting adalah keluarga Katholik yang kuat, utuh, tangguh dan berdampak kepada masyarakat. Terkadang, cara melawan kampanye child-free tidak melulu dengan menyebut ayat-ayat kitab suci, tetapi kembali mengajak pasangan untuk mengambil peran dan tanggung jawab dalam upaya melestarikan keutuhan ciptaan.

Tentu, semua perubahan ke arah yang lebih baik dimulai dari pemimpinnya. Para rohaniwan gereja, pengurus gereja dan pimpinan lembaga-lembaga sosial Katholik mesti memberikan contoh terlebih dahulu bagaimana mereka mengelola keuangan, informasi, dan relasi di dalamnya dengan baik. Tidak mudah, tapi harus terus menerus diupayakan. AMDG.

Addis Ababa, 12 Mei 2025

Tinggalkan komentar