Haruskah Anak Muda Bersaing Melawan Kecerdasan Buatan?

Filemon Yoga Adhisatya, M.Sc.
Lulusan The University of Manchester UK
Anggota Dewan Penasihat Departemen Teknik Industri, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Sejarah manusia di balik pendidikan dan kerja

Kalau sekarang kita punya banyak rupa pekerjaan di dunia, tidak demikian keadaannya 12.000 tahun lalu ketika manusia memulai revolusi pertanian. Saat itu, sebagian besar manusia mulai bercocok tanam di lahan yang sempit, mengembangkan jenis-jenis tanaman tertentu dan menjinakkan jenis-jenis hewan tertentu untuk kesejahteraannya.

Manusia yang pada dasarnya lahir secara prematur bila dibandingkan mamalia lainnya, memiliki otak yang memungkinkan kita bertumbuh dengan daya adaptasi yang tinggi pada berbagai kondisi alam. Manusia hidup dan bertani-beternak di daerah ekstrem dingin, di pinggir laut, di puncak gunung, bahkan di gurun. Lewat perdagangan, kita mengembangkan keinginan dan cita rasa, dan mulai mempertukarkan beragam jenis hasil produksi dari berbagai bentang alam sejak sekitar 500 tahun lalu.

Kemudian, produksi masal yang efisien dengan daya listrik, pekerja terspesialisasi dan pabrik-pabrik dengan cerobong raksasa dimulai 130 tahun lalu. Manusia berlomba-lomba masuk ke angkatan kerja menjadi buruh, dengan memperkuat keahlian matematika, fisika, kimia dan ilmu lainnya untuk menunjang kemampuan fisik agar tidak dikalahkan oleh mesin. Pendidikan didesain mempersiapkan angkatan kerja yang meningkatkan hasil produksi industri.

Persaingan generasi muda Asia Tenggara

Dalam 3 dekade terakhir di Asia Tenggara, kemajuan internet mulai merambah pedesaan di Indonesia, Thailand, Filipina dan negara ASEAN lainnya. Beberapa negara berkembang lebih cepat daripada yang lainnya dari sisi pendidikan, karena kondisi keamanan yang lebih stabil, pemerintahan yang lebih efektif, masyarakat yang tangguh, atau sistem peninggalan negara penjajah yang membuat mereka selangkah di depan lainnya. Pemuda generasi milenial yang mulai mengenal internet di awal tahun 90-an, masih belum terlibat aktif dalam perbincangan antarpemuda di region ASEAN di awal tahun 2000-an. Perbedaan penguasaan bahasa asing membuat pergaulan pemuda regional saat itu masih didominasi negara-negara jajahan Inggris dan Amerika Serikat.

Media sosial yang mulai muncul di awal dekade tahun 2000-an kemudian mengubah lansekap. Kita mulai lebih terlibat dalam percakapan multinasional. Pertukaran pelajar antarnegara digiatkan. Program magang internasional digalakkan. Di saat yang sama, persaingan angkatan kerja muda meningkat.

Milenial: generasi terimpit

Angkatan kerja generasi milenial mendapati fakta tidak mudah di tempat kerja: kantor, pabrik, dan lainnya. Bekerja di bawah supervisi atasan generasi baby boomer membuat berbagai perbedaan penguasaan teknologi, pengalaman, kebijaksanaan, dan akses terhadap informasi mengemuka dan menimbulkan kendala. Pandemi COVID-19 sejak awal 2020 mempertajam perbedaan ini, terutama ketika dunia kerja menyambut datangnya generasi baru: generasi Z.

Mereka yang lahir sebagai generasi milenial “dipaksa” segera tumbuh dewasa sebagai “kakak” generasi Z, dan menjalankan peran perantara dalam fungsi coaching dan mentoring. Posisinya yang unik karena lahir dalam kondisi dunia nir-internet, tetapi tumbuh sebagai remaja yang melek teknologi informasi, membuat angkatan kerja generasi milenial dapat mengambil peran penting sebagai komunikator yang menjembatani kepentingan dua generasi yang mengimpitnya: baby boomer dan generasi Z.

Periode 2020-an ini juga ditandai dengan abundance of resources, situasi kebalikan dari scarcity of resources yang dulu menjadi penanda kejayaan revolusi industri awal. Modal dan informasi menjadi berkelimpahan, seiring dengan semakin besarnya proporsi masyarakat usia produktif terhadap keseluruhan populasi di negara-negara ASEAN. Lompatan kemajuan teknologi informasi di berbagai negara berkembang ini membuat angkatan kerja mudanya latah, kaget, dan sesekali cegukan karena belum sempat mematangkan fase literasi pasca-penjajahan oleh negara-negara Barat.

Kemampuan angkatan kerja muda untuk memilah, memilih, mengolah, dan menggunakan informasi menjadi lebih penting daripada kemampuan untuk mencari informasi itu sendiri. Ini berbeda dengan pemuda di era tahun 90-an yang bisa memiliki keunggulan kompetitif karena “tahu lebih dulu” atau “tahu lebih banyak” daripada sebayanya. Hari ini, akses terhadap berbagai informasi lebih merata sehingga kemampuan mengolah dan menggunakan informasilah yang menjadi pembeda.

Haruskah bersaing melawan kecerdasan buatan?

Dalam dua tahun terakhir pemuda Indonesia dibuat takjub sekaligus cemas atas penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam berbagai aspek kehidupan, meskipun pada tataran keilmuan sendiri AI sudah dikembangkan beberapa dekade lalu. Bersaing mencari pekerjaan melawan manusia saja sudah sulit, apalagi melawan kecerdasan buatan?

Saya ingin menawarkan alternatif cara berpikir. Manusia menguasai dunia hari ini bukan karena keunggulan pribadinya dibandingkan spesies hewan lain. Manusia sebagai individu tidak lebih kuat daripada gajah, tidak lebih cepat daripada cheetah, dan hanya sedikit lebih cerdas daripada simpanse. Tetapi secara komunal, kita adalah spesies yang nyaris tak terkalahkan apabila bekerjasama dengan baik.

Di dunia kerja, anak muda bisa kalah cepat berhitung melawan komputer dan kalah kuat beradu ketahanan fisik melawan mesin. Maka, setidaknya ada tiga kemampuan yang menurut saya perlu dikembangkan anak muda untuk bisa bersaing di dunia kerja, yaitu kemampuan berpikir analitis (analytical thinking), kemampuan membangun jejaring yang bermakna (meaningful network), serta kemampuan untuk terus menerus belajar sepanjang hayat (life-long learning).

Ke dalam diri, memperkuat kemampuan berpikir analitis. Membiasakan diri mencari akar masalah, mengidentifikasi hubungan sebab-akibat, serta menjadi kritis pada lebih dari satu sumber informasi. Ini terdengar sederhana, namun kita yang muda sering kesulitan mempraktikkannya karena gadget dan media sosial melenakan kita dengan konten visual, teks singkat dan algoritma yang memicu adiksi. Melatih kemampuan berpikir analitis membuat kita tidak sekadar menjadi pencari dan pengolah informasi yang bisa digantikan Chat GPT, tetapi juga menjadi pencipta solusi yang adaptif.

Ke luar diri, membangun jejaring yang bermakna. Anak muda kerap menyalahartikan jejaring dengan jumlah followers di Instagram, jumlah teman di Facebook atau jumlah connections di LinkedIn. Angka-angka itu penting, hanya jika ada makna di dalam hubungan sosial yang dibangun. Hubungan sosial yang bermakna mengizinkan terjadinya interaksi yang saling mendukung, mengkoreksi, dan menghubungkan ke jejaring lain yang menciptakan peluang baru untuk berkarya atau belajar. Bukan sekadar likes atau views.

Menjadi penopang kedua kemampuan di atas, adalah kemampuan dan kemauan untuk terus menerus belajar. Pasar tenaga kerja yang tidak lagi mengenal perbedaan usia, lokasi geografis, kewarganegaraan, gender ataupun gelar pendidikan, membuat persaingan semakin ketat dan tanpa batas. Yang bisa bertahan dan menang belum tentu yang paling pintar di kelas, melainkan yang paling lihai belajar dan beradaptasi. Yang menggunakan waktu dan memanfaatkan jejaring dengan baik untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Pada akhirnya, menurut saya, nilai-nilai dan kualitas manusiawilah (bukan robotik atau komputasi) yang membawa peradaban kita sampai ke hari ini. Kreativitas, empati, rasa keindahan, kesabaran, dan kerentanan; yang akan menjadi pembeda antara manusia dengan teknologi ciptaannya. Anak muda perlu menggali nilai-nilai manusiawinya sendiri agar tetap relevan di masa kini dan masa depan. Kita terus kritis, membangun jejaring, dan terus belajar.

Addis Ababa, April 2025

Tinggalkan komentar