Saya kenal Pramuka sejak kecil. Di SD tempat saya mengenyam pendidikan dasar, Pramuka adalah ekstrakulikuler wajib untuk siswa sejak kelas 4. Sejak kelas itulah saya belajar tentang survival, kerjasama, kepemimpinan, dan menjadi pemuda yang mencintai tanah airnya. Kelompok-kelompok anak kecil tingkat Siaga itu disebut barung. Nama barung diambil dari nama warna-warna. Saya lupa apa warna barung saya waktu itu. Yang saya ingat, saya adalah ketua kelompok.
Bukan karena saya pandai memimpin orang lain maka saya didapuk jadi ketua kelompok sekumpulan anak kecil usia 9 tahun. Terlebih adalah karena saya bisa memimpin diri saya sendiri; terbilang unik untuk anak seusia saya waktu itu. Saya adalah ketua kelas sejak kelas 1 caturwulan I hingga kelas 6 semester II. Saya cenderung anteng di kelas, patuh pada aturan dan guru, terlebih pada keyakinan diri saya sendiri yang orang tua ajarkan kepada saya.
Dari Pramuka saya belajar memimpin kelompok kecil. Tugas-tugas kecil mulai diberikan kepada saya: memimpin upacara bendera, memimpin baris-berbaris. Sejak kali pertama menjadi pemimpin upacara itulah saya mulai mencintai bendera Merah-Putih. Saya marah bila ada siswa lain atau bahkan guru yang bermain-main dengan bendera; dalam bentuk apapun itu. Bapak Alm. Y.B. Legimin (Pak Min) adalah figur yang mengajarkan saya tentang menghargai bendera, bukan dengan kata, namun dengan aksinya ketika berlari mengejar bendera yang terbawa angin dari ujung tiang di lapangan SD Pangudi Luhur Sugiyapranata. Beliau marah besar waktu itu kepada kami para petugas upacara yang tidak kuat mengikatkan tali pada bendera yang sangat beliau cintai itu.
Pramuka membangun karakter saya menjadi petarung yang kritis saat itu. Di pengujung masa sekolah SD, saya dipercaya mewakili SD Pangudi Luhur Sugiyapranata menjadi Siswa Teladan. Maju ke tingkat kecamatan, saya kalah. Siswa lain memang terlampau pintar untuk dikalahkan. Tapi di dalam hati saya tahu bahwa saya harus bangga telah terpilih dari sekolah dasar yang paling mengerti bagaimana membangun manusia berkarakter.
Morse dan Semaphore membuat saya makin sayang dengan Pramuka. Saya adalah penerjemah sandi yang ulung waktu itu. Saya lihai menerjemahkan berbagai ujud sandi, mulai dari sandi batu, rumput, jam, atau api menjadi dua sandi sederhana yang Pramuka kenal: Morse dan Semaphore. Sering juga beradu Semaphore dengan teman satu sekolah, berandai-andai akan menjadi seorang militer nantinya. Berkemah dan bertualang bersama kelompok adalah keasyikan lainnya. Apalagi bila tempat pos-pos berikutnya disembunyikan di balik sandi-sandi!
(BangPa-In, Ayutthaya, Thailand—June 2014)