Bertumbuh dalam Kultur Berkompetisi

Asah otak dan hati

Tidak pernah ada paksaan dari orang tua untuk menjadi nomor satu atau dua atau tiga. Di bidang akademik saya cukup menonjol, meskipun bukan tipe siswa olimpiade atau lomba mata pelajaran. Prinsip saya, kerjakan yang bisa dikerjakan dengan baik, tinggalkan sisanya. Di sekolah dasar sampai SMP, saya selalu masuk peringkat 5 besar. Terbilang cukup rajin waktu itu. Bangun pagi jam 05.00 hanya untuk pindah ke kamar tamu dan duduk, belajar sampai 05.50 lalu bergegas mandi. Saya tidak mau kalah dari teman-teman sekelas. Lambat laun saya sadar, tidak selamanya ambisi itu baik. Saya tidak pernah terlatih untuk jatuh dan kalah.

Di bidang non-akademik saya lebih menonjol, setidaknya hingga masa SMP. Papa selalu bilang, menjadi laki-laki harus seimbang antara otak, hati, dan soft skill. Percuma orang pintar tapi tumpul hatinya. Percuma pandai bergaul kalau tidak ‘pintar’. Laki-laki harus bisa seimbangkan ketiganya, perjuangkan, sesulit apapun itu! Sejak SD kelas IV, saya memilih mengasah hati lewat berpuisi. Bukan sembarang puisi, tapi puisi Jawa. Kesempatan belajar itu tidak saya cari, tetapi datang lewat sebuah paksaan dari ibu kepala sekolah. Bu Rati masuk ruang kelas IV sambil membawa undangan dari dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Kecamatan Klaten Utara. Ada tiga cabang lomba kebudayaan Jawa yang ditawarkan, macapat, geguritan, dan tari tradisional. Lewat negosiasi panjang, akhirnya saya menyerah dan menyanggupi tawaran Bu Rati untuk mewakili sekolah di cabang geguritan.

Saya adalah perwakilan sekolah swasta Katholik, tidak akan pernah mudah bersaing dengan perwakilan siswa dari sekolah-sekolah negeri. Papa, guru pendamping, dan tentu saja saya sebagai ‘wayang’nya berjuang siang malam menempa diri. Saya tidak terbiasa berbahasa Jawa di rumah. Tak pernah terbayang saya akan berdiri membacakan puisi Jawa dengan diksi yang bahkan tidak semua orang Jawa dewasa pahami. Saya coba, dan terus coba. Tampil di depan Papa sampai di depan keluarga besar saat arisan keluarga dijadikan ajang simulasi kompetisi yang sesungguhnya. Berbusana adat Jawa ‘beskap’ lengkap, saya maju dan membacakan puisi sesuai interpretasi saya. Hasilnya? Saya keluar sebagai juara I tingkat kecamatan.

Dari titik itulah ajang-ajang kompetisi lain di tingkat kabupaten hingga provinsi terus saya ikuti. Berkat kerja keras para pelatih saya dan Papa, Sang ‘Guru’ yang senantiasa mendampingi, saya menorehkan nama sebagai juara Geguritan Tingkat Kabupaten Klaten untuk 3 tahun berturut-turut. Di SMP pun saya terus mengasah hati dengan puisi Jawa. Saya cukup beruntung bisa meraih juara III Geguritan tingkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah yang diselenggarakan di SMA Kolese De Britto. Tanpa saya sadari, puisi-puisi Jawa itu membentuk saya menjadi pribadi yang kritis dan keras, namun di saat yang sama, rapuh. Beberapa puisi karangan Sunarto yang kritis menolak betonisasi sawah-sawah tempat kerbau beradu dengan tanah yang lembek membuat saya tidak mudah menerima keadaan yang menurut saya tidak beres. Babak lain kehidupan dimulai, menjadi pemimpin kecil yang kritis, bahkan cenderung rebellion.

Lagi-lagi, Pramuka

Di samping berpuisi, Pramuka tetap menjadi lapangan tanding saya. Lanjutkan tren disiplin berpramuka di kelas I SMP, saya menjadi ketua Dewan Penggalang Gugus Depan 05055 SMP Pangudi Luhur I Klaten. Saya dan teman-teman sepasukan berniat teguh untuk tidak berhenti berprestasi untuk SMP yang kami cintai dan banggakan. Berbagai kegiatan kami adakan bersama, sebaik mungkin. Prestasi individu saya dengan menjadi kontingen dengan nilai akhir seleksi tertinggi pada Jambore Nasional 2006 melengkapi cerita manis masa SMP. Tampaknya ada orang yang tidak suka dengan pencapaian saya dan teman-teman Dewan Penggalang yang lain. Kasak-kusuk ala anak SMP mulai merebak. Baunya sampai ke hidung saya dan wakil ketua saya waktu itu, Datu. Bau busuk ternyata berasal dari mulut salah satu adik kelas saya yang adalah anggota OSIS. Saya kejar, sudutkan, tarik kerah, amuk. Saya paling tidak suka orang di luar lembaga saya menjelekkan lembaga saya di belakang.

Sungguh, masa SD dan SMP mengajarkan kompetisi yang lagi-lagi, membuat saya keras, dan getas.

(Rangsit, Ayutthaya, Thailand-June 2014)
image

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s