Makin Sedikit Waktu, Makin Banyak Dikerjakan

Empat tahun setengah
Rasanya, waktu empat tahun menempuh pendidikan tinggi tidak pernah cukup. Kuliah saya maknai lebih dari sekadar belajar dari dosen di kelas atau buku. Ini adalah masa pematangan benih-benih kepribadian anak muda seperti saya. Banyak orang berpikir, kuliah hanyalah syarat untuk mencari kerja di kemudian hari. Orang-orang seperti ini mempersempit definisi ‘karir’ untuk dirinya sendiri. Bagi saya, setiap tahapan dalam kehidupan adalah kesempatan untuk berkarya–karya adalah inti dari karir itu sendiri. Masa kuliah adalah lautan kesempatan yang besar untuk berkarya. Kuliah tanpa berkarya adalah kesia-siaan waktu, tenaga, dan pikiran.

Saya raih gelar Sarjana Teknik Industri dalam waktu 9 semester. Ya, 9 semester yang membanggakan setidaknya buat saya sendiri. Sama seperti mahasiswa baru yang lain, saya dulu menyusun rencana detail untuk selesaikan kuliah dalam waktu kurang dari 4 tahun; 3,5 tahun kalau bisa. Tapi tampaknya saya tidak diizinkan lulus terlalu cepat karena banyak pengalaman berharga yang terlalu mustahil diraih dalam waktu kurang dari 8 semester. Mama dan Papa seperti sudah capai mendengar anak lelaki tertuanya terlalu sering cerita tentang apa yang dilakukan di kampus. Panitia ini lah, panitia itu lah, ikut lomba ini lah, masalah ini lah, masalah itu lah, ini-itu lah. Tapi di putaran terakhir sebelum finish, semua orang senang.

Mahasiswa UAJY Berprestasi 2013
Saya tidak pernah bermimpi jadi mahasiswa berprestasi (di kampus disingkat ‘mawapres’). Tidak pernah juga merancang diri menuju ke sana. Yang saya bayangkan tentang prestasi di mata kampus adalah memenangkan kejuaraan atau membuat harum nama universitas. Awal tahun 2013 itu, saya tidak punya prestasi, kalau prestasi diukur dari berapa banyak piala yang diangkat di atas panggung. Panggung saya berbeda. Panggung saya bukan tempat saya berdiri lebih tinggi dari orang lain, tetapi tempat bergelut bersama orang lain.

Kesebelas kandidat lain dari 11 program studi lain di UAJY datang dengan prestasinya masing-masing. Dibandingkan mereka, saya hanya sedikit lebih jago mbacot. Tentu saja mbacot untuk kebaikan. Tak pernah ada ceritanya aktivis kampus menang tanding lawan para juara olimpiada dan perlombaan tingkat nasional, bahkan internasional. Tapi ini kali lain. Kampus mendapuk anak Klaten ini predikat ‘berprestasi’ terlebih karena apa yang ada di dalam dirinya, bukan apa yang dia tampakkan di hadapan orang lain. UAJY mempertaruhkan idealisme unggul, inklusif, humanis, dan berintegritas dengan menunjuk anak muda Klaten ini maju pemilihan Mawapres DIY. Tentu kalah. Seperti saya bilang, saya tidak punya prestasi. Yang keluar sebagai juara adalah seorang mahasiswa nerd, yang bahkan tidak pernah berkenalan dengan kandidat Mawapres dari universitas lain. Prestasinya memang luar biasa, juara lomba geologi internasional.

Saya pulang dari gelanggang dengan malu bercampur bangga. Malu karena tidak dapat mengibarkan bendera universitas di kancah yang lebih tinggi; tetapi bangga karena kampus melihat dari dalam diri saya apa yang tidak bisa dituliskan dalam lembaran piagam penghargaan. Dengan malu saya sowan ke kepala Kantor Kemahasiswaan dan Campus Ministry kala itu, Ibu Suryanti. Beliau dan Bapak Wakil Rektor III-lah yang menunjuk saya mewakili kampus di ajang pemilihan Mawapres DIY. Saya merasa harus bertanggung jawab mengemukakan kelemahan saya dan keunggulan mahasiswa lain sehingga saya tidak terpilih dan mahasiswa lain menang. “Saya pikir Ibu mungkin sudah salah menunjuk saya”, jelas saya lirih. “Cara kita memandang prestasi berbeda dengan cara mereka. Saya tahu jalanmu di depan masih panjang. Lengkapi apa yang belum kamu kerjakan”, tegas Bu Suryanti. Dari situlah etape lain dari marathon 9 semester saya baru saja dimulai.

Tiga etape terakhir sebelum finish
Seperti kata Bu Bening Parwitasukci, dosen Bahasa Inggris saya, tiga semester terakhir ini bagi saya adalah waktu mengepakkan sayap lebih kuat dan lebih lebar. Saya jelajahi Korea dan begaul dengan pimpinan universitas Katholik dunia. Saya kecap Thailand dan berbagai pengalaman bekerja di perusahaan internasional. Saya rengkuh dunia lain di Indonesiaku yang selama ini tidak pernah saya pelajari di kelas: pangan. Soal yang terakhir ini, tentulah soal Indonesian Tempe Movement.

Indonesian Tempe Movement adalah tikungan tajam terakhir sebelum finish.

Salah menikung, saya akan jatuh; tapi bila menikung dengan tepat, finish yang manis dan lebih cantik semakin dekat. Ando, sobat Indonesia saya yang bertemu di Korea, adalah cucu dari Bapak Teknologi Pangan Indonesia yang asli Klaten: Prof.Dr. F.G.Winarno. Dia dan kakeknya adalah orang pangan yang sejati. Saya tidak ada kaitannya dengan pangan, kecuali fakta bahwa saya dengan mudah dikompori untuk melakukan sesuatu yang positif untuk masyarakat. Indonesian Tempe Movement adalah misi mulia yang dimotori anak muda di bawah arahan Prof.Win untuk menduniakan Tempe dan meNempekan dunia. Kami berdua percaya, dengan berbagai cara, nilai-nilai historis, sosiologis, dan gizi tempe bisa kami angkat ke kancah dunia.
Kurang lebih 65 anak muda kami berdua kumpulkan di bawah payung yang sama: Indonesian Tempe Movement. Saya ngider gagasan dari kampus satu ke kampus lain, menuai cibiran dan tawa ejekan di kampus satu dan lainnya. Tapi banyak pula pihak yang mendukung. Siaran tentang Indonesian Tempe Movement dari satu radio ke radio lain dan menulis di koran saya lakukan karena saya yakin inilah saatnya saya berkontribusi untuk sesuatu yang lebih besar. Mission accomplished, konferensi internasional pertama tentang Tempe berhasil kami selenggarakan di Jogja, Februari 2015!

Dan…perjalanan panjang menempuh pendidikan dari kecil hingga diwisuda saya tutup dengan sebuah pidato yang naskah aslinya saya tulis di sini. Oleh pihak kampus, terminology ‘pendidik’ yang saya gunakan untuk menggantikan kata ‘dosen’ di naskah saya tidak diizinkan. Jadi dengan senang hati saya tuliskan naskah aslinya di sini karena tidak akan pernah tertulis di buku wisuda. Bagi saya, saya telah meninggikan derajat dosen dengan menyebut mereka pendidik. Tapi mungkin tidak bagi mereka.

Yang terhormat,
Koordinator Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Yayasan Slamet Rijadi Yogyakarta,
Rektor dan para Wakil Rektor,
Pimpinan dan Anggota Senat Akademik Universitas,
Pimpinan dan Anggota Senat Akademik Fakultas,
Para Guru Besar,
Para Dekan dan Wakil Dekan,
Para Pendidik, Karyawan, dan segenap Civitas Akademika Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Para Orang Tua/Wali dan Keluarga Wisudawan,
Serta Saudaraku para Wisudawan yang Membanggakan,

Selamat datang di pagi hari yang kita tunggu-tunggu.
Salam damai Tuhan bagi kita semua.

Patutlah hari wisuda ini kita syukuri secara lebih mendalam karena atas kehendak Tuhan kita dikumpulkan di tempat ini untuk merayakan hasil perjuangan kita dan menyongsong perutusan kita masing-masing.

Para tamu undangan dan wisudawan yang berbahagia,

Saya sungguh merasa bangga dan terhormat berdiri di hadapan Anda sekalian sebagai perwakilan wisudawan memberikan sambutan pada acara Wisuda Program Sarjana dan Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta Periode II Tahun Akademik 2014/2015 ini. Kebanggan dan kehormatan yang sama tentu dirasakan pula oleh kedua orang tua saya, Drs. Fidelis Priyo Djatmiko dan Dra. Zita Pancawesti serta ratusan orang tua lainnya di ruangan ini. Penghargaan setingginya juga diberikan kepada almarhumah Ibu salah satu wisudawan yang mengamanatkan putra kebanggaannya tetap berwisuda meskipun tanpa kehadiran Sang Ibu yang telah berpulang. Untuk segala perhatian, kasih sayang, dan cinta para orang tua, kami para wisudawan menghaturkan terima kasih.

Para tamu undangan dan wisudawan yang berbahagia,

Hari ini saya tidak akan mengutip ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris dari orang-orang terkenal di dunia, tetapi izinkan saya memaknai wisuda ini dari perspektif empat orang Jawa inspirator saya yang merupakan personifikasi keempat ciri utama wisudawan UAJY: unggul, inklusif, humanis, dan berintegritas. Mereka adalah figur pendidik dan teladan di dalam masyarakat yang bersama para pendidik di Universitas Atma Jaya Yogyakarta membentuk saya sampai hari ini berdiri di sini. Para wisudawan tentu juga memiliki figur pendidik yang membentuk setiap kita sampai hari ini. Kepada merekalah pula rasa terima kasih kita haturkan.

Saudaraku para wisudawan yang unggul,

Sapa sing nandur mesthi bakal ngundhuh, mung kari tandurane iku apa. Sing ditandur wiji jagung, sing diundhuh ya jagung. Sing ditandur wiji anggur, sing diundhuh ya uwoh anggur. Dene sing ngundhuh bisa awake dhewe, bisa anake, bisa putune, bakune isih keturunane. Segala capaian yang kita rayakan hari ini adalah tuaian dari setiap usaha kita selama kuliah; rajin-malas, sehat-sakit, suka-duka. Saben wong bakal ngukub undhuh-undhuane dhewe. Mula saka iku ora prelu meri marang wong kang undhuhane akeh, kosok baline ora prelu hanggeguyu marang wong kang undhuhane sethithik. Keunggulan akademik yang kita dapatkan dari kerja keras selama kuliah bukanlah untuk dipamerkan di depan orang lain, tetapi lebih dari itu, merupakan warisan kepada anak cucu kita di masa depan. Terima kasih kepada seorang petani yang bersikeras anaknya harus menjadi sarjana yang akhirnya mengajarkan ilmu tandur ini kepada saya dan hadirin sekalian. Menjadi penting bagi kita bahwa seberapa kerasnya kita belajar hari ini tidak hanya akan dituai oleh kita sendiri, tetapi juga generasi penerus kita. Yang terhormat, almarhum eyang Drs. Ignatius Surono, terima kasih.

Saudaraku para wisudawan yang berjiwa inklusif,

Niruwa sing becik, nuruta sing bener, miliha sing pikolih. Figur inspiratif kedua adalah seorang Bayan dan guru di daerah perbatasan Boyolali dan Klaten, eyang buyut Mardiwiyoto. Sebagai bayan, beliau adalah contoh konkret betapa manusia harus hidup dalam harmoni dengan manusia di sekelilingnya. Pada zaman penjajahan, demi sebuah kemerdekaan yang diidam-idamkannya, eyang Mardiwiyoto menjadikan rumahnya tempat berlindung warga sekitar dan tentara pelajar. Di tengah situasi sulit yang menguji kesatuan bangsa pada kala itu, figur sederhana eyang Mardiwiyoto membuka diri untuk warga sekitarnya sambil mengesampingkan egoisme pribadi dan keinginan berlindung dalam zona nyaman demi kebermanfaatan sesama. Beliau yakin, kebaikanlah yang ditujunya, kebenaranlah yang diikutinya, kebermanfaatan sesamalah yang dipilihnya.

Saudaraku para wisudawan yang humanis,

Eyang Prof. dr. Harsono, Sp.S (K), adalah personifikasi tepat nilai humanisme. Ketika bertugas di Papua, sebagai dokter muda yang teguh memegang sumpah, beliau taat menjalankan tugas di Papua yang kala itu sedang panas. Dua luka tembakan peluru di tangan dan kepala tidak sedikitpun menggoyahkan niat mulianya bekerja untuk kemanusiaan. Keberpihakannya pada kemanusiaan mengantarkannya kepada pencapaian-pencapaian lain dalam karir kedokterannya. Prinsip keberpihakan pada kemanusiaan inilah yang tentunya menjadi ciri khas kita sebagai lulusan Universitas Atma Jaya Yogyakarta mulai dari saat ini.

Saudaraku para wisudawan yang berintegritas,

Bagi saya, seseorang yang berani mendaku integritas berarti sanggup menyelaraskan kehendak hati yang suci dengan perbuatannya. Sedikit sekali orang yang berhasil. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah manunggaling kawula Gusti. Lagi-lagi kita akan belajar dari figur seorang pendidik yang merupakan satu di antara sedikit orang ini. Meskipun tidak pernah bertemu secara langsung karena periode hidup kami yang berbeda, cerita tentang eyang kakung dan integritas sering saya dengar dari putra-putri dan kerabat eyang kakung. Sungguh, kita semua melihat betapa integritas seorang pribadi terus menerus dikenang dari generasi ke generasi dan menjadi inspirasi penerus. Sebagai figur guru teladan di Klaten, Eyang kakung dikenal karena kesederhanaan dan kebersahajaannya. Beliau meyakini bahwa kehidupan yang sederhana dan bersahaja membantu kita berpegang teguh pada kehendak hati yang suci. Apabila kita, orang Atma Jaya, berani mendaku integritas sebagai nilai institusi ini, hidup dalam kesederhanaan dan kebersahajaan haruslah menjadi inti. Terima kasih eyang Kasiran Sasraatmadja dan kesederhanaanmu.

Saudaraku para wisudawan yang berbahagia,

Proses pembentukan diri kita di Universitas Atma Jaya Yogyakarta mungkin telah berakhir, namun di saat yang sama tugas kita sebagai alumni untuk melayani dalam cahaya kebenaran baru saja dimulai. Marilah kita tidak berhenti pada kebanggan sebagai alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta, saatnya kita membuat UAJY bangga mempunyai alumni seperti kita yang unggul, inklusif, humanis, dan berintegritas.

Demikian sambutan saya pada hari ini. Selamat terbang burung-burung Atma Jaya muda! Jangan lupakan sarang tempatmu belajar terbang. Tuhan memberkati, Ad Maiorem Dei Gloriam!

Yogyakarta, 28 Februari 2015

ttd.

Filemon Yoga Adhisatya, S.T.

IMG_20150316_093245[1]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s