Men-download Integritas dan Nilai Humanisme Eyang Kakung

Dua nilai itulah yang saya amat-amati dan pelajari dari dua orang eyang kakung yang jadi kiblat saya belajar. Eyang Ignatius Surono Wedyohadi dan Eyang Kasiran Sosroatmojo, dua figur kepala sekolah teladan yang masing-masing punya cara tersendiri meneladankan integritas dan humanisme. Saya belum pernah secara langsung mengalami eyang Kasiran dan melihat beliau karena ketika eyang meninggal janin saya baru mulai terbentuk. Tapi nadi saya merasakan karisma beliau lewat cerita-cerita tentang beliau.

Honesty is either 0 or 1, nothing lies between
Boleh percaya atau tidak, saya tidak pernah mencontek selama hidup sekolah saya.
(Ada) Orang katakan saya munafik, tapi saya tidak peduli. Saya katakan, saya hanya ingin menghargai kerja keras teman saya yang paling sulit mencerna pelajaran, lalu belajar sampai pagi untuk lulus tes pagi ini. Saya tahu susahnya seperti apa. Saya percaya, dalam belajar, proses adalah fokusnya; dalam bekerja, hasil adalah fokusnya. Maka, saya hargai nilai 15 (dari nilai tertinggi 100) yang diberikan Bu Endah, guru Fisika De Britto, dengan bonus catatan kecil di sudut lembar jawaban: ‘tulisannya diperbaiki’. Ekstrimnya, saya terang-terangan mengkritik teman-teman Cina De Britto yang demi nilai 100 ‘rela’ memata-matai soal Matematika Pak Catur yang diulangkan di kelas sebelah kemarin. Saya pikir orang-orang seperti ini kalau dibiarkan akan tumbuh jadi koruptor yang tamak harta karena masa mudanya tamak nilai.

Saya sadar sikap saya ini menyusahkan saya sendiri, dan (beberapa) orang lain. Tapi biarlah kita sama-sama susah.

Saya teringat doa leluhur saya agar anak cucunya jadi orang yang kajen, bukan kaya. Dan saya pikir, saya terjemahkan doa itu ke dalam tindakan dengan cukup militan. Maka? Jalan terus!
Masuk kuliah, dunia semakin merupa jelas. Frankly speaking, tampaklah orang-orang munafik yang sesungguhnya, yang bertopeng untuk nilai. Ya, sialnya saya dibesarkan di kelas internasional yang kecil, sepi. Tak habis jari dua telapak tanganmu untuk hitung berapa orang duduk di dalam kelas ketika ujian. Peluang mencontek tertutup, kami tampak ‘suci’, meski suci yang hakiki sebenarnya dimulai dari sucinya niat. Suatu kali saya ambil mata kuliah di kelas reguler karena pada semester itu mata kuliah yang saya harus ambil tidak cukup kuota minimal untuk dibuka di kelas internasional. Aha! Ini saatnya bermain-main di kelas besar!

Hari permainan itu pun datang. Kami ujian Proses Produksi II di kelas kapasitas 60 orang. Karena ini ujian, kelas hanya diisi kira-kira 30 orang. Surprise! Dari 3 soal tertera, hanya satu yang pernah diajarkan. This is not exam. Ini pembodohan, saya pikir. Dosen tidak seharusnya tertawa di atas kesusahan anak didiknya yang gagal mengerjakan soal yang dibuatnya. Waktu mengerjakan 90 menit, tetapi saya sudah keluar saat selesai mengerjakan satu soal yang saya mengerti karena pernah diajarkan. Saat itu kira-kira menit ke-20. Saya mengamat-amati sebentar kasak-kusuk dan gerak-gerik mahasiswa lain di kelas ujian itu. Saya sadar betul betapa mereka gelisah karena soalnya benar-benar shocking. Berbagai trik mulai teman-teman lancarkan untuk berusaha mengerjakan setidaknya 2 dari 3 soal yang diberikan. Saya tidak tahan lagi berada di dalam kelas dan akhirnya keluar ruang ujian dengan perasaan campur aduk menginggalkan satu point soal yang saya kerjakan dan dua point lain yang saya tinggal begitu saja.

Ini bukan kali pertama jiwa dan moral saya terusik untuk hal yang orang anggap sepele, tetapi sangat prinsipil bagi saya: kejujuran. Saya siap dengan konsekuensi mendapatkan nilai C atau D untuk mata kuliah Proses Produksi II ini, tetapi tidak siap dengan beban mental karena membiarkan pembusukan moral terjadi perlahan-lahan pada generasi saya. Menimbang posisi saya sebagai mahasiswa yang cukup ‘didengar’ di kampus, saya beranikan diri menulis surat yang sangat personal sekaligus emosional kepada Bapak Kris (saat itu dekan Fakultas Teknologi Industri) dari sudut pandang seorang mahasiswa yang jiwanya terusik. Saya kemukakan dalil-dalil saya, keprihatinan saya, dan harapan saya dari hati seorang De Britto kepada hati Pak Kris yang juga seorang De Britto. Surat tanpa kop itu saya serahkan dengan sangat sopan lewat sekretaris beliau yang baru beberapa bulan bekerja di FTI. “Surat dari siapa ini, Mas? Kok tidak ada kop-nya?” tanya Bu Hari, sekretaris itu kepada saya. Saya jelasaskan bahwa ini surat pribadi saya kepada Pak Dekan; jika berkenan mohon disampaikan, jika tidak biar suratnya saya sampaikan sendiri.

Seminggu berlalu, saya sudah lupa soal surat itu. Yang tersisa tinggal harapan bahwa surat itu minimal akan dibaca.

Tiba-tiba di suatu pagi Bu Ririn (koordinator kelas internasional) memanggil saya, untuk urusan penting katanya. Saya datang menghadap dan ditunjukkan salinan surat saya kepada Pak Dekan disertai sebuah surat tanggapan dari Pak Dekan untuk saya. “Seminggu lalu setelah suratmu sampai, langsung ada rapat seluruh dosen Fakultas”, jelas Bu Ririn. Saya kaget, bertanya dalam hati sambil menebak ujung cerita ini: apresiasi atau degradasi. Ternyata surat pribadi saya yang sentimentil itu di-copy untuk seluruh dosen supaya semua orang di Fakultas sadar akan bahaya degradasi moral yang disebabkan oleh sistem yang tanpa sengaja kita ciptakan sendiri. Dalam suratnya, Pak Dekan sangat mengapresiasi keberanian dan masukan saya, sambil melaporkan langkah-langkah yang akan segera diambil untuk memperbaiki sistem. Di lingkup masyarakat intelektual yang kecil ini, saya sudah membuktikan bahwa niat baik akan menemukan jalannya sendiri.

Beasiswa: sebuah pertaruhan moral
Setidaknya tiga dari sembilan semester yang saya lalui selama kuliah tidak dibiayai dari uang orang tua, di samping beasiswa yang saya dapat sebagai salah satu dari 20 delegasi yang mendapatkan financial support ketika mengikuti ASEACCU Conference 2013 di South Korea, menyingkirkan sekitar 180 mahasiswa kandidat penerima lainnya dari seluruh Asia. Saya amat bersyukur untuk itu. Saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan jalan kemudahan untuk umatnya yang mau berusaha.

Yang jauh lebih penting bagi saya daripada beasiswa sebagai sebuah penghargaan, adalah beasiswa sebagai sebuah suntikan menyelamatkan nyawa di detik-detik akhir.
Beberapa teman dekat saya datang dari latar belakang keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Yang mereka miliki hanyalah semangat belajar, meskipun saya pikir orang-orang berduit jauh lebih miskin karena yang mereka miliki hanyalah uang. Di kampus ada sistem beasiswa bebas SPP tetap yang ditawarkan setiap semester untuk kurang lebih 15 orang mahasiswa, terutama bagi mereka yang berprestasi namun berasal dari keluarga yang ekonominya lemah. Saya tidak pernah mencoba melamar beasiswa ini, bukan karena nominalnya yang kecil, tetapi saya melihat ada lebih banyak teman yang pantas mendapatkannya. Saat itu saya semester tujuh. Selama tujuh semester itu saya melihat kenyataan yang mengoyak rasa kemanusiaan saya: mahasiswa yang berprestasi dan kaya memenangkan beasiswa itu dan membelanjakan uangnya untuk iPhone baru. Ini terjadi karena mahasiswa yang miskin tidak dapat memenuhi syarat minimum IPK 3,0 untuk melamar beasiswa itu. Saya pikir, beberapa dari mahasiswa yang miskin ini pasti tidak terlalu bodoh untuk mendapat IPK 3,0; mereka hanya tidak bisa fokus belajar karena permasalahan keuangan yang membelitnya. Saya mahasiswa, saya tidak boleh diam.

Saya manfaatkan relasi dekat saya dengan Pak Hadisantono, Wakil Dekan III bagian Kemahasiswaan kala itu. Beliau kebetulan adalah juga Ketua Yayasan Anak-Anak Terang yang telah membantu ribuan anak putus sekolah di seluruh Indonesia. Saya beranikan diri menghadap beliau bersama seorang teman yang saya rasa sangat perlu dibantu: Stefanus Prasetyo. Sebelum menghadap, saya sudah jelaskan ke Pras (sapaan Stefanus Prasetyo) bahwa kemungkinan kecil Pras bisa dibantu karena syarat IPK bisa jadi pengganjal. Tapi apa salahnya menyandarkan diri pada kemungkinan kecil? “Kalau anak ini gagal setelah saya bantu dengan beasiswa, kamu yang paling bertanggung jawab” tegas Pak Hadi sambil setengah menunjuk kepada saya. Saya dan Pras berbalas pandangan; saya melihat keraguan di matanya, dia melihat optimisme di mata saya. “Oke Pak, sekali-kali Bapak harus percaya saya”, jawab saya. Pras tidak bodoh, dia hanya perlu belajar me-manage dirinya sendiri. Saya tuntun dia pelan-pelan menyusun rencana studi, mengatur waktu dalam seminggu sehingga efisien baik untuk belajar maupun mengerjakan kerjaan sampingannya, sampai menyusun prioritas pengeluaran dari yang paling perlu sampai yang paling bisa ditunda seperti futsal. Saya tegaskan kepada Pras, ada ribuan anak lain di Indonesia yang lebih pantas mendapatkan beasiswa ini daripada kamu, tapi tugasmu sekarang hanya membuktikan kamu layak menerima kesempatan ini.

Pras mengakhiri semester itu sebagai salah satu semesternya yang paling gemilang. Saya hampir menangis.
(Pondok Mulyo, Klaten-March 2015)
imageimage

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s