Tertusuk Musik

Our Father”

2013, Klaten-Hari itu hari minggu biasa, seperti hari minggu lainnya di Klaten. Saya dan keluarga pergi ke Gereja Maria Assumpta Klaten untuk misa. Yang sedikit berbeda mungkin susunan duduk anggota keluarga kami di dalam gereja. Biasanya, Papa duduk di sisi paling luar berturut-turut diikuti Dik Galih, saya, dan Mama. Tapi hari itu saya duduk di sebelah Papa. Kami duduk kira-kira di baris kesepuluh dari depan, hanya berjarak sekitar 15-20 meter dari tempat duduk paduan suara di ujung kiri depan.

Aha! Hari itu salah satu paduan suara favorit saya bertugas. Yang saya tunggu biasanya adalah lagu-lagu yang dilantunkan saat persembahan (offerings) diantarkan ke depan altar. Menit bergulir di gereja, lagu Bapa Kami dilantukan dengan ‘kurang ajar’ oleh paduan suara sore itu. Ini bukan kali pertama saya dengar lagu ini. Ini juga bukan lagu persembahan yang biasanya jadi ‘puncak kenikmatan’ saya mendengarkan lagu-lagu di gereja. Papa yang aktivis paduan suara di gereja menilai lagu Bapa Kami ini tidak bagus-bagus amat dinyanyikan oleh paduan suara yang bertugas sore itu. Tapi tubuh saya bereaksi secara tidak biasa terhadap lagu ini, kali ini.

Rasanya lagu ini berbicara, bukan lewat kata tapi lewat nada. Benar bahwa orang-orang di paduan suara ini bernyanyi dengan kata-kata. Tapi sore itu pesan lagu ini seakan berpelukan erat dengan setiap nada yang saya dengarkan. Rasa-rasanya lagu ini tidak perlu kata untuk berteriak. Mungkin deskripsi saya terdengar berlebihan, tetapi inilah saya, yang sangat sensitif terhadap musik dan lagu. Saya merasakan seluruh tubuh bergetar dan melemas. Perlahan saya sadar mata saya mulai berkaca-kaca selama lagu itu dibawakan dan tiap-tiap barisnya dinyanyikan.

Akhirnya saya menyerah kepada Tuhan lewat lagu ini. Saya mulai menangis ketika lagu ini kira-kira baru separuh bagian dinyanyikan. Sebisa-bisanya, saya menutup-nutupi tangis, tidak ingin papa, Dik Galih, dan Mama sadar saya sedang menangis. Segera saya berjalan ke luar gereja menuju parkiran mobil. Di sanalah saya melanjutkan nikmatnya menangis saat mendengarkan detik-detik terakhir lantunan lagu Bapa Kami.

Saya merasa semakin lemah, semakin kecil, semakin bodoh, semakin tidak berdaya di hadapan Tuhan.

Screen Shot 2016-04-17 at 20.53.56.png

Gambar 1. Gereja Maria Assumpta Klaten

(sumber: https://www.flickr.com/photos/albertus_magnvs/)

Lord I offer my life to you”

2016, Manchester-hanya sebuah hari minggu lainnya di sudut dunia yang berbeda. Hari-hari ini adalah tentang tugas yang mengantre, PPI Greater Manchester, dan kopi. Bulan April sudah diprediksi sebagai bulan yang agak tidak masuk akal untuk ditaklukkan. Sadar kondisi ini, saya memilih agak santai, menyelesaikan masalah satu demi satu: menyelesaikan yang  di depan mata, melupakannya, menantang yang berdiri di hadapan.

Tapi kemarin rasanya saya sedikit diingatkan bahwa daya tahan tubuh ini tidak tak terbatas. Saya ‘sedikit’ maag gara-gara makan tidak teratur dan mungkin kurang istirahat. Saya segera makan, minum air putih yang banyak supaya pulih dan siap kerja lagi. Maag lewat, saya menang.

Hari ini saya baru sempat misa di gereja sore hari karena lagi-lagi tugas menyela pagi dan siang saya. Misa sore hari di Holy Name Church jam 19.00. Ini kali kedua saya ikut misa sore di gereja ini. Tidak ada paduan suara gregorian di balkon atas gereja yang biasanya memukau saya, ditambah lagi organ raksasa yang sering ‘pamer skill‘. Yang ada adalah sekumpulan anak muda yang membawakan lagu di samping altar bersama beberapa gitar dan sebuah keyboard.

Yang mencolok dari sekumpulan anak muda ini adalah suara seorang pemudi leading vocal  yang memang sangat cocok dengan gema yang dipantulkan dinding-dinding tua gereja. Tibalah lagu persembahan. Saya waspada. Memasuki intro, saya rasanya kenal dengan lagu ini. Judulnya ‘Lord I offer my life to you’. Saya dengarkan kira-kira medio tahun 2014 lalu di sebuah misa mingguan di Ayutthaya, Thailand. Lalu bangkitlah memori hari itu di Thailand, di saat saya mbrebes* di antara jemaat yang terduduk tenang.

Beberapa lagu memang punya efek ‘pedas’ di mata saya; seperti bawang merah yang membuat kita mbrebes saat dikupas. Lagu ini memang spesial. Memasuki baris ‘..everything I’ve been through, use it for Your Glory’, saya untuk kedua kalinya dalam kurun tiga tahun tertusuk oleh musik.  Fokus saya di gereja terusik, tapi saya membiarkan diri larut tanpa diaduk. Saya menangis sejadi-jadinya. Kali ini saya tidak terlalu jaga image karena gereja sore ini tidak terlalu penuh. Orang terdekat di sebelah kanan saya berjarak 3-4 meter. Tidak ada orang duduk tepat di baris depan saya, sedangkan orang di baris belakang tentu tidak bisa melihat saya menangis. Saya makin menikmati tangisan sore ini hingga selesainya lagu.

Screen Shot 2016-04-17 at 22.13.42.png

Gambar 2. Holy Name Church Manchester

(sumber: http://www.muscc.org/uploads/)

Saking sukanya dengan lagu ini, saya mencoba ikut bernyanyi sementara sibuk menangis. Tampaknya ibu di sebelah kanan saya mulai sadar suara saya bergetar. Dengan jelas dia berpura-pura melihat ke kiri belakang beberapa kali, sembari mengecek apa benar orang ini menangis sambil menyanyi. Tiba saat kami bersalam damai, sebuah saat kami saling berjabat tangan dan berbalas sapaan hangat. Ibu ini menjabat tangan kanan saya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya diletakkan di atas tangan saya ketika berjabatan; sebuah hal yang tidak dilakukannya ketika berjabat tangan dengan dua orang di belakang saya. Sambil tersenyum, ibu ini mencoba menenangkan saya. Dia tidak mencoba bertanya kepada saya mengapa saya menangis, alih-alih justru menawarkan penghiburan lewat senyuman.

Lagu ini memukul saya telak di kepala, dan menusuk saya tepat di dalam jiwa. Pikiran saya disadarkan bahwa kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan adalah anugerah. Hati saya diingatkan bahwa tidak perlu berbangga dengan apa yang saya sudah capai, karena hidup sejatinya adalah persembahan kepada Tuhan. Saya ditegur bahwa ada peran Pencipta dalam setiap hari yang saya lalui dengan sehat, dalam setiap sakit yang lekas sembuh.

Tusuk saya lagi, Tuhan.

*mbrebes: berlinang air mata

 

Satu respons untuk “Tertusuk Musik

  1. Kara berkata:

    Hahaha sempat mengalami hal yang sama di tempat yang sama beberapa bulan yang lalu. Sampai sekarang masih terkagum sama cara Tuhan mengingatkan kita bahwa Ia dekat 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s