Klaten, 4 November 2036

Dua puluh tahun lalu di Jakarta ada demo.

Dari pengamatan saya dua puluh tahun yang lalu saya belajar tiga hal sederhana.

Pertama, saya belajar menjadi lebih bijak menilai kinerja pejabat publik, setidaknya bijak dalam ukuran saya. Kala itu saya mencoba menempatkan diri pada koordinat (x,y) yang tepat; dengan x adalah tingkat apresiasi saya terhadap kinerja Ahok bagi Jakarta dan y adalah tingkat penilaian saya terhadap kecerdasan komunikasinya. He did achieve some good things, to be honest. Saya dan Anda yang mungkin sesama Kristiani boleh berbangga. Di sisi lain, mari jujur bahwa sebenarnya ada ‘cara lebih baik’ untuk mendekati beberapa masalah yang toh akhirnya Ahok selesaikan di masa lalu ketika dia jadi gubernur meskipun tidak dengan mulus dan sarat kontroversi. Ingat, tidak ada pejabat publik yang sempurna. Let’s be fair.

Saya lega karena tidak menjadi pembela buta dan tidak antikritik. Saya lega karena waktu itu tidak bersumbu pendek, tipikal lelaki Libra yang penimbang. Dengan tingkat literasi masyarakat Indonesia dua puluh tahun lalu, isu keagamaan mungkin memang lebih bijak dihindarkan untuk bersinggungan dengan momen-momen politik. Kita belum siap memasuki era dialog agama berbasis argumentasi intelektual. Waktu itu kita masih dalam kebiasaan baik untuk saling menjaga perasaan antarumat beragama. Jadi pentinglah kita belajar betapa berhati-hati berucap menjadi krusial. Mengutip sepotong ayat Al-Quran, apalagi bila tidak kita pahami dengan baik maksudnya, dapat menjadi boomerang. Wajar bila ada saudara umat Islam yang sakit hati. Sakit hati kok dilarang.

Kedua, Indonesia negara yang kaya karena beragam. Indonesia hari ini, 4 November 2036, menjadi acuan belajar banyak bangsa karena kedewasaan kita menyikapi perbedaan. Saya bangga! Dua puluh tahun lalu kedewasaan kita sebagai bangsa yang beragam diuji. Ribuan orang turun ke jalan di Jakarta. Bermacam kelompok menyampaikan aspirasi di negara demokrasi. Ada yang menggelar aksi damai dan dengan tertib membersihkan sampah sebelum pulang. Ada yang membakar mobil, merusak toko, menimbulkan keributan hingga larut malam. Kita memang toko serbaada, jadi jangan mempertukarkan stigma antarkelompok ini. Tak adil memberi stigma buruk atau politis pada yang beraksi damai. Tidak elok pula menyebut aksi membakar mobil dan merusak toko sebagai aksi damai. Benar bahwa timing kejadian ini membuat muatan politiknya menjadi sarat. Tetapi saya lega waktu itu saya tidak menuduh saudara-saudara muslim yang saya kenal dan turun ke jalan semata demi alasan politik. Lagi-lagi ini soal menjaga perasaan.

Ada yang memperbandingkan reaksi umat lain yang agamanya dinistakan dengan reaksi umat Islam terhadap perkataan Ahok di Kepulauan Seribu; menilai bahwa tidak seharusnya umat Islam mudah sakit hati. Untungnya, kita waktu itu sadar betapa ini bukan saatnya lagi mencari pembenaran dan pembelaan. Keyakinan saya Ini akan terdengar sangat naif: kita seharusnya berempati dan merasakan sakit yang besarnya sama, baik ketika umat agama kita maupun umat agama lain yang disakiti. Ah, memang kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta kekerasan agama terhadap minoritas di berbagai sudut Indonesia. Saya hanya cukup beruntung tidak terhitung di antara banyak teman yang mengalaminya di masa kecil. Itu masa lalu kita dan bukan saatnya saling mempersalahkan. Dua puluh tahun berselang kita sudah lebih pandai dalam saling menjaga dan berempati. Kita juga makin ahli dalam sebuah skill yang susahnya minta ampun kita pelajari bertahun-tahun: memaafkan. Kita melihat ke depan.

Ketiga, saya bangga waktu itu kita bisa menerima dengan lapang dada keputusan pengadilan yang tegas, cepat, dan transparan atas Ahok. Saya ingat persis perkataan Presiden Jokowi waktu itu: tegas, cepat, dan transparan setelah seharian mengecek pembangunan kereta api di Bandara Soekarno-Hatta. Ini saya sayangkan sih, karena justru saat itulah momen yang tepat bagi Presiden Jokowi menunjukkan bahwa dia tidak sedang melarikan diri dari tuduhan apapun, termasuk tuduhan melindungi Ahok dari proses hukum. Proses hukum sudah selesai, hanya memang saya lupa apa putusan akhirnya karena anjing saya minta pindah channel TV ke acara talkshow anjing favoritnya ketika saya sedang lihat berita.

Dasar anjing.

screen-shot-2016-11-05-at-00-45-34

Coba lihatlah senyum anjing saya. Dia juga orang Indonesia. Eh, anjing Indonesia. Dia masih berani senyum ketika kita semua pesimis kala itu. Saya awalnya juga pesimis kita bisa melewati masa sulit itu. Tapi hari ini, 4 November 2036, saya membaca lagi tulisan ini dan mengguratkan senyum selebar senyum anjing saya karena kita bangsa yang hebat!

picture1

 

Klaten, 40°C, 4 November 2036

Jangan lupa melet.

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s