Ke Jakarta, aku kan kembali.
Salah satu berkah keterlibatan saya dalam Indonesian Tempe Movement adalah perkenalan saya dengan sosok luar biasa yang jadi idola mahasiswa Teknologi Pangan dan Teknobiologi di seluruh Indonesia. Beliau adalah Prof.F.G.Winarno. Kami memang intens berkomunikasi selama masa persiapan International Conference on Tempe, terutama karena beliau sekeluarga beberapa kali berkunjung ke Yogyakarta untuk memantau persiapan panitia.
Sungguh, keputusan saya untuk akhirnya berani mendaftar sekolah lanjut ke luar negeri tidak lepas dari sebuah tawaran mengejutkan dari Prof.Win yang datang sebagai kehormatan bagi saya. “Kalau Yoga butuh surat rekomendasi untuk daftar beasiswa atau sekolah ke luar negeri, datang saja ke Jakarta”, tukasnya. Saya sempat merasa rendah diri karena melihat diri tak cukup layak untuk mendapatkan rekomendasi dari salah satu putra terbaik kelahiran Klaten.
Mencoba meminimalisasi total biaya yang harus saya keluarkan selama mempersiapkan sekolah lanjut, saya mencoba (lagi) mendapatkan tiket kereta kelas ekonomi Rp50.000,00 seperti yang berhasil saya beli ketika harus test IELTS ke Surabaya beberapa minggu sebelumnya. Tapi saya gagal. Hampir mengeluh, kali ini Tuhan yang bekerja dengan ajaib lewat Om Andreas yang membelikan tiket pesawat Yogyakarta-Jakarta untuk saya sebagai bentuk dukungannya untuk sekolah saya. Dengan ini, makin banyak saja orang yang ‘berinvestasi’ dalam diri saya lewat berbagai cara mereka turun tangan, meskipun belum tentu juga saya akan diterima di sekolah yang saya inginkan.
Bus DAMRI membawa saya dari Cengkareng menuju tempat tinggal Prof.Win di sebelah Unika Atma Jaya Jakarta. Ternyata bus tidak bisa berhenti tepat di depan Plaza Semanggi, sehingga saya harus berjalan sekitar 15 menit dengan sebuah tas kulit milik Papa di bahu kanan dan kantong plastik berisi keripik tempe dan belut goreng di tangan kiri. Tidak ada rasa malu atau canggung berjalan di keramaian ibu kota dengan outfit yang ndeso sekali. Hanya, lucu saja ketika orang lain melihat saya dengan aneh. Soal oleh-oleh memang tidak bisa ditawar; ini sudah titah dari mama yang memang jadi kebiasaan orang Jawa.
Apartment, apa?
Seperti biasa, saya berdiam bingung di depan setiap kali akan masuk gedung besar di Jakarta. Saya selalu habiskan waktu 10 menit untuk memastikan saya bisa menjawab semua pertanyaan receptionist yang di mata saya seperti investigator. Terbayang di kepala saya raut wajah Rano Karno yang bingung mencari kerja di hadapan gedung-gedung tinggi Batavia.
Apalagi, ini apartment. Tidak ada apartment di Klaten.
Di lantai dasar, benar saja, ada receptionist. Oh tidak, Tuhan. Saya bingung bagaimana menuju ke lantai yang tepat. Setelah mengamati bagaimana orang masuk lift, saya ikut saja di belakang orang yang tampaknya penghuni. Saya pilih lift sebelah kiri yang masih kosong, lalu masuk dan menekan tombol lantai yang saya inginkan. Gagal total. Saya tidak bisa naik tanpa kunci yang hanya dimiliki penghuni. Saya keluar lagi dari lift dan sejurus kemudian mbak receptionist menatap ke arah saya.
“Mau ketemu siapa, Mas?” tanyanya sambil meneliti saya dari ubun-ubun sampai kelingking kaki kiri. “Profesor Winarno”, jawab saya lirih sambil menjelaskan bahwa saya ‘tamu dari Klaten’ ketika mbak receptionist menanyakan identitas. Beberapa detik setelahnya saya sudah berada di ruang kerja beliau yang tenang dan dipenuhi buku serta piagam penghargaan. Saya dipeluknya, dan diperkenalkan kepada asisten pribadinya di ruangan itu sebagai ‘tamu penting dari Klaten’. Saya hanya bisa tersenyum.
Mulailah kami menyusun bersama-sama surat rekomendasi untuk keperluan pendaftaran saya ke The University of Manchester. Pada secarik kertas dituliskannya hal-hal penting yang beliau tanyakan kepada saya; mulai dari data pribadi hingga kegiatan dan pencapaian apa saja yang saya dapatkan selama S1. “Wah, bagus ini, penting ini untuk ditulis”, ucapnya setiap kali saya menjelaskan tentang diri saya. Selesai satu kertas A4 penuh dengan tulisan tangan beliau, telepon berdering di meja asisten pribadi beliau.
Tulisan tangan Prof Win untuk surat rekomendasi saya.
“Bilang saja nanti Pak Win akan telepon balik, sedang ada rapat dengan tamu penting”, jelas Profesor Winarno kepada asisten pribadinya. Selesai menulis, saya pikir kertas itulah yang akan diserahkan kepada saya untuk diketik. Nyatanya tidak, beliau menulis ulang dengan rapi surat rekomendasinya dalam bahasa Inggris yang sangat baik! Saya kemudian diajaknya ke kampus Unika Atma Jaya Jakarta untuk mencetak surat rekomendasi itu sambil dijelaskannya beberapa sudut penting universitas yang pernah dipimpinnya itu. Terharu dan salah tingkah saya dibuatnya, ketika profesor ini benar-benar memberikan waktunya untuk mengambil peran yang mungkin kecil bagi beliau, tapi sangat besar bagi kehidupan saya berikutnya.
Orang ‘bodoh’ memberi makanan, orang pintar memberi buku.
Selepas rampung segala urusan surat dan form rekomendasi, Profesor Winarno menghadiahi saya buku biografi pribadinya. Dalam pikiran saya, merebak mimpi suatu saat nanti bisa memberi oleh-oleh buku kepada tamu yang berkunjung ke rumah. Mimpi, suatu saat nanti ada pada level ‘memberi ilmu’ untuk memperkaya pengetahuan dan tidak lagi berada pada tingkatan ‘memberi makan’ untuk mengenyangkan perut. Saya terhanyut dalam kisah inspiratif Prof Win lewat buku beliau yang saya baca di kereta api ekonomi yang membawa saya pulang ke Klaten saat sebuah sms masuk dari beliau mengagetkan saya, “Semoga suksesmu adalah sukses Republik Indonesia!”
Saya yang tampak sangat wahgu dan kucel.