Mengapa Masalah Korupsi di Klaten Lebih Besar daripada yang Kita Lihat?

Timeline saya didominasi ungkapan kelegaan dan kegembiraan, meninggalkan para pembela Bupati Klaten yang tertangkap tangan oleh KPK di pengujung tahun 2016 tenggelam di dasar newsfeed. Sejenak peristiwa ini memercikkan api optimisme warga Klaten akan kota kelahiran yang bersih dari korupsi. Ini momentum bersih-bersih!

Banyak topik yang dibicarakan di media sosial yang saya ikuti berkaitan dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Jangkauan topiknya cukup lebar, mulai dari hujatan para pendukung lawan Bupati terpilih saat pemilu tahun lalu, spekulasi keterlibatan mantan bupati dalam perencanaan OTT ini, hingga berbagai nama tokoh yang dicalonkan mengisi kekosongan jabatan wakil bupati nantinya ketika Sri Mulyani naik tahta.

Topik-topik ini menarik sebagai topik musiman yang lahir secara spontan sebagai ikutan dari setiap momentum politik; utamanya adalah pemilukada dan soal korupsi. Perhatian warga kota akan nasib tanah kelahirannya meninggi terutama di saat momentum-momentum politik tadi hadir. Kita saling sikut saat pemilu, kita saling hujat saat pilihan kita terjerat kasus korupsi. Perhatian dan kontrol kita terhadap pemerintah daearah seakan mencapai puncak-puncaknya saat dua momen itu terjadi. Kita memberikan zero tolerance terhadap setiap rupiah suap, setiap perilaku koruptif. Kita kritis.

Apa yang terjadi setelah bupati baru (atau bupati baru, rasa lama) terpilih? Atau, apa yang terjadi setelah kasus korupsi bupati naik ke meja hijau dan tak ada lagi sorotan media kepada Klaten? Kita lantas kembali menekuni kebiasaan-kebiasaan hidup yang koruptif: suap, buang sampah sembarangan, truk kelebihan muatan, jalan-jalan yang rusak, kehidupan pemuda yang semrawut.

Tampak jelas, kalau melihat politik sebagai cara tata kelola kehidupan suatu kelompok masyarakat, penyakit politik koruptif tidak hanya menjangkiti tataran pimpinan daerah. Tetapi lebih dari itu, kita sebagai masyarakat Klaten yang sudah puluhan tahun hidup di kota ini pun terjangkiti. Suka atau tidak, mengaku atau tidak, kita terjangkiti. Berpuluh tahun hidup di kota yang berkelimpahan air, udara yang segar, kaya padi, melenakan kita. Apalagi hiburan ala kota dengan mudah kita dapatkan dari tetangga sebelah, Jogja dan Solo, tanpa pernah kebagian macet atau panasnya. Tidak ada sense of urgency untuk bergerak dan menyalak menjalankan fungsi watchdog, atau berkontribusi positif lewat komunitas-komunitas untuk ‘naik kelas’.

Saya percaya jiwa dari sebuah kota ada pada pemudanya, yang kritis, penuh energi, dan lapar berkontribusi. Memang benar, Bandung bukanlah Bandung yang sekarang tanpa Ridwan Kamil. Surabaya bukanlah Surabaya yang sekarang tanpa Tri Rismaharini. Tapi kedua figur ini bukanlah siapa-siapa tanpa pemuda di kotanya yang turut berevolusi dan membantu kotanya sembuh dari penyakit. Keluwesan komunikasi antara pemimpin daerah dan pemuda usia belajar dan produktiflah yang pada akhirnya menentukan kesuksesan revolusi kota.

Ke manakah perginya para pemuda terbaik Klaten kita? Pemuda usia sekolah yang lahir dari keluarga berkecukupan akan disekolahkan ke SMA unggulan di Solo atau Jogja. Demikian halnya dengan para mahasiswa terbaik yang memilih kuliah di kota-kota besar. Lulus dari universitas-universitas terbaik di Indonesia, seakan tak ada minat sedikitpun bekerja di Klaten. Terjadilah, angkatan muda paling kreatif, paling berenergi, paling bertalenta pergi meninggalkan kampungnya setiap tahun. Fenomena ini tak asing bagi kita.

Kita yang muda, pernah mencicipi kehidupan serbateratur dan serbanyaman di kota-kota besar Indonesia bahkan dunia. Tapi ketika kita lewat lagi di jalanan-jalanan Deles, kaki gunung Merapi, di desa-desa yang jauh dari pusat kota Klaten, nenek-nenek hidup dengan listrik yang byar-pet, atau air yang susah di musim kering. Ada sejumlah besar warga di kelas ekonomi bawah yang sudah menghidupi kehidupan yang sama selama tiga-empat kali masa jabatan bupati tanpa pernah menuntut kehidupan yang lebih baik kepada pemerintah asalkan ada uang dan makanan untuk hidup sampai besok malam.

Warga kelas ini tidak mengerti signifikansi OTT bupatinya yang terjadi di kota. Tidak pula mereka mengerti bahwa pilihan mereka saat nyoblos di bilik suara akan punya dampak bagi hidup sampai besok malam. Tidak juga terjangkau informasi bahwa di belahan lain di dunia orang tetap bisa tinggal di desa dengan jaminan pendidikan dan jaminan kesehatan. Tidak sadar bahwa kita punya hak untuk kehidupan yang lebih baik, yang nilainya jauh lebih besar dari beberapa puluh ribu uang yang kita terima untuk mencoblos gambar tertentu di bilik suara lima tahun sekali.

Kita yang muda tahu. Kita yang muda merasakan hidup yang nyaman di kota lain. Kita yang muda melek informasi dan kesadaran berpolitik bersih. Dalam diri kitalah energi, dalam otak kitalah inovasi, dalam hati kitalah integritas. Seharusnya tak butuh waktu lama lagi, sejak momentum bersih-bersih di pengujung tahun 2016 lalu, kita yang muda sadar bahwa KITALAH SOLUSI. Sudah lewat masanya Operasi Tangkap Tangan (OTT), atau trend Om Telolet Om (OTO). Inilah saatnya berpikir OOT (Out Of The box) dan menjadi bagian dari solusi!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s