Saya dan dialog: sebuah transaksi kasih

Saya tidak akan pernah berhenti bersyukur sepanjang hidup saya karena mendapatkan cukup banyak pengalaman berinteraksi dengan kawan beragam agama dan kepercayaan. Bukan hanya karena jumlah pengalamannya, melainkan juga kedalaman interaksinya. Saya sangat yakin ini patut disyukuri, terlebih karena jutaan anak muda lain mungkin tidak punya kesempatan seperti saya – karena kendala sosial, geografis atau kondisi ekonomi.

Beberapa pengalaman teramat membekas dalam hati dan pikiran saya. Terlebih dalam pikiran, yang membuat saya (sengaja) memperlambat respon ketika dihadapkan pada situasi-situasi sensitif menyoal agama. Otak saya bekerja berlipat kali lebih banyak dan mempertanyakan hal-hal yang lebih kompleks daripada ketika saya mengerjakan business case atau soal matematika. Kemauan untuk memperlambat respon ini yang saya rasa sangat perlu dilatih hari ini, di saat semua serbacepat bereaksi atas aksi yang kita bahkan mungkin belum pahami maksud dan konteksnya. Kecepatan meningkatkan friksi, dan bisa memicu api.

Ketika bersentuhan dengan sentimen agama, pikiran saya menakar hubungan-hubungan antarfaktor: kedalaman pengetahuan saya, suasana hati saya, kedalaman pengetahuan lawan bicara (atau sumber informasi), serta yang terpenting buat saya: perasaan lawan bicara (atau sumber informasi) yang beragama lain.

Kalau Budha saja tidak marah, mengapa saya harus marah?

Suatu hari saat kuliah, saya duduk sebagai mahasiswa dalam praktikum yang dibimbing asisten dosen beragama Budha. Di akhir presentasinya, ada sebuah gambar yang saya tangkap sebagai tokoh animasi. Saya berseloroh, “Wah lucu gambarnya Mbak”. “Itu gambar Budha lho, aku berdoa kepada Dia”, balasnya dengan senyum tipis tanpa sedikitpun amarah. Responnya sungguh tak terduga: dia menjelaskan keyakinannya kepada saya karena merasa saya tidak lebih mengerti mengenai agama Budha daripada dia, tanpa mengungkapkan kemarahan yang berlebihan. Kalau dia marahpun, saya bisa mengerti. Selepas kelas saya datangi dia, dan saya ungkapkan permohonan maaf saya atas ucapan saya tadi. “Budha-ku saja nggak marah Yog, maka aku juga nggak perlu marah. Kamu hanya nggak tahu bahwa itu gambar Budha”, jelasnya.

Ada 2 hal yang saya pelajari dari sini, dan akan terus saya ceritakan kepada banyak orang – sesuatu yang akan saya wariskan kepada anak-cucu: (1) jagalah perasaan saudaramu, apapun agamanya. Asisten dosen saya ini menjaga perasaan saya dengan tidak menghakimi saya jahat di depan kelas karena perkataan saya. Dia memberi saya respon yang terkontrol yang memperbolehkan terjadinya dialog setelah kelas berakhir. Terlepas dari perasaannya yang tersakiti oleh perkataan saya, dia tetap berusaha menjaga perasaan saya karena percaya api harus dilawan dengan air. Saya juga tidak membalas dengan ‘jangan baperan dong’, karena saya tahu bahwa manusia punya perasaan dan bisa tersakiti. Maka ‘saya digituin aja nggak marah kenapa kamu gitu aja marah’ tidak berlaku. Orang seperti ini mungkin sering gagal dalam percintaan.

Lalu, (2) tidak buru-buru marah saat tersakiti perasaannya karena pernyataan yang menyinggung agama kita bukan berarti kita setuju. Asisten dosen saya jelas tersinggung, tapi dia memberi ruang dialog yang luas untuk terjadinya klarifikasi dan rekonsiliasi. Dalam banyak aspek manusia fasih bermusyawarah: bisnis, urusan keluarga, bahkan situasi rawan perang; maka baik juga kalau kita tidak buru-buru marah dan beramai-ramai mengkapitalisasi sakit hati menjadi kebencian berjamaah.

Mengungkapkan keberatan tidak harus dengan marah terlebih dahulu. Saya sadar, dalam banyak konteks sosial dialog ini sulit terjadi; salah satunya karena kita masing-masing sebenarnya belum ada pada level kognisi dan keimanan yang cukup mumpuni untuk memperdebatkan soal agama. Maka daripada saling berdebat, mari saling belajar saja supaya bisa saling menjaga perasaan. Sepertinya ini lebih mudah dan menyenangkan lho!

Saya satu-satunya Katolik dalam pengajian bulanan di Manchester

Ketika berkuliah di Manchester, saya dipercaya sebagai ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di sana. Saya berkewajiban memfasilitasi beragam kegiatan berbagai komunitas, termasuk kegiatan komunitas yang berbeda agama dengan saya.

Hampir setiap bulan, selama saya bisa, saya selalu hadir dalam pengajian warga Indonesia di Manchester. Juga, tentu saya hadir di persekutuan doa Kristiani yang biasanya waktunya tidak berbarengan. Dalam kesempatan yang lain, saya terlibat menjadi panitia kegiatan gathering umat muslim Indonesia di Inggris yang diadakan di Manchester. Untuk semua kesempatan itu, saya bersyukur sepanjang hidup.

Setiap akan diadakan pengajian, tema yang akan dibahas selalu diinformasikan beberapa hari sebelumnya. Ini membuat saya mendapatkan gambaran, dan bisa mempersiapkan hati dan pikiran supaya saya tidak dibodohkan oleh kecilnya otak dalam rongga kepala saya. Saat dirasa topiknya cukup sensitif, seorang sahabat muslim memberi saya briefing, “Mas, ini topiknya agak sensitif. Tapi kalau mau ikut silakan.” Dan saya mohon izin untuk tetap ikut, kalau dirasa kehadiran saya tidak mengganggu. Saya diterima dengan tangan terbuka, seperti biasanya.

Benar saja, beberapa pembahasan memang bertolak belakang dengan keyakinan agama saya. Tapi tidak satu detikpun di mana saya merasa ada ungkapan penceramah yang menyakiti hati saya, meskipun saya tahu persis dia tidak tahu saya ada di dalam ruangan itu. Ini menunjukkan bahwa selalu ada cara yang lebih baik untuk mengungkapkan kebenaran.

Dialog agama terjadi di banyak tempat, baik antarpemeluk agama yang sama, maupun antara pemeluk agama satu dengan lainnya. Di dalam ruang-ruang ibadah terjadi dialog antara penceramah dengan umat yang beribadah. Dalam berbagai acara di desa juga terjadi dialog antarumat beragama saat lebaran atau momen hari besar agama lain. Semuanya baik, semuanya indah.

Masalah sering muncul ketika dialog dalam lingkup terbatas di dalam tempat dan waktu tertentu terdengar oleh umat agama lain dan dia menjadi sakit hati karenanya. Ini telah, sedang, dan masih akan sering terjadi ke depan. “Kan saya ngomongin itu di dalam gereja, kamu kenapa sakit hati padahal kamu nggak ikut ibadah di gereja?”. Yang harus kita sadari adalah bahwa ruang dan sekat-sekat dunia kita semakin tipis. Apa yang kita katakan sekarang di sini akan didengar oleh orang di luar sana 3 tahun lagi – boleh jadi dalam konteks yang sama sekali berbeda.

Mengungkapkan kebenaran ajaran agama kita kepada saudara seiman supaya mereka tetap dalam jalan yang kita yakini benar – dan tidak masuk ke dalam jalan orang lain yang salah, memerlukan kematangan berpikir dan berucap, dan bukan hanya kedalaman pengetahuan. Ini bukan hanya tentang kebenaran tentang apa yang kita katakan, tetapi juga apa yang orang akan lakukan di luar dinding-dinding ini ketika berinteraksi dengan umat beragama lain. Kita dipercaya berbicara di depan orang yang mendengarkan, maka kita ikut bertanggung jawab atas tindakan pendengar karena perkataan kita.

Saya dan saudara benar jika kita lakukan ini-dan-itu, serta menjauhi ini-dan-itu, tampaknya cukup bisa diterima pendengar dan lebih tidak berpotensi menyakiti pendengar beragama lain. Tanpa harus berkoar mereka salah dan pendosa karena melakulan ini-dan-itu. Saya akan merasa nyaman beribadah dalam komunitas yang sekalipun sedang membicarakan hal sensitif mengenai agama lain, saya yakin umat agama lain di dalam atau luar dinding ruangan ini tidak akan tersakiti. Bukan karena isi ceramahnya, tetapi cara penyampaiannya. Saya tahu saya salah di mata saudara, untuk sesuatu yang saya yakini benar di mata batin saya. Maka marilah saling mengerti.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s