Tidak, saya tidak menilai tulusnya persahabatan dengan sahabat muslim dari apakah mereka mengucapkan selamat Natal kepada saya atau tidak. Bergaul dengan ratusan warga muslim ketika sekolah di Manchester membuat saya mengerti dasar pemikiran mereka dan menghormati keputusan mereka. Terkadang memang yang diperlukan hanya sesederhana kemauan untuk ‘mengerti’ dan ‘menghormati’.
Memang, ketika saya kecil suasananya sedikit berbeda. Kita tidak memperdebatkan benar/salah seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada saudaranya yang Kristen. Saya kemudian belajar bahwa bukan ajarannya yang berubah, tetapi penyikapan orang terhadap ajaran yang diyakininya benar itu. Dasar perdebatannya ada pada hal yang mendasar, yaitu akidah. Apa yang saya yakini benar, tidak mereka yakini.
Bagi saya perbedaan ini lumrah, ketika memang 2 agama ini memiliki akar sejarah yang bersinggungan. Saya pun, sebaliknya, tidak meyakini yang mereka yakini benar. Saya pikir percuma berteriak-teriak “intoleran” kepada mereka yang tidak mengucapkan selamat Natal. Justru kita yang intoleran. Banyak orang akan tidak setuju dengan saya untuk poin ini, tetapi saya tidak pernah merasa perlu menyesal untuk berbeda pendapat.
Tapi apakah lalu semuanya baik-baik saja? Tidak, setidaknya menurut saya. Masih banyak berseliweran unggahan-unggahan di media sosial mengenai ‘salahnya’ Natal kami, ‘dosanya’ Natal kami, atau terkutuknya kami yang merayakan Natal ini. Saya sengaja menjaga pertemanan di Facebook dengan beberapa orang ini, terlebih karena kami sama-sama dibiayai oleh negara menempuh pendidikan tinggi.
Saya mengerti, yang diniatkan lewat unggahan-unggahan itu adalah memberikan garis batas yang jelas tentang mana yang benar dan salah, yang (mungkin) ditujukan kepada kami yang Kristen atau sesama muslim yang masih mengucapkan selamat Natal. Niatnya baik, berdakwah; namun cara dan waktunya yang saya tidak setuju. Tidak setuju, bukan berarti membensi. Di saat saudara-saudara kita sedang merayakan hari besar agama yang mereka yakini benar, semakin banyak juga unggahan yang menyerukan betapa salahnya perayaan itu. Saya percaya ada cara lain yang mungkin lebih baik, dan waktu yang lebih tepat.
Semoga kita bisa sama-sama belajar untuk saling menjaga hati dan tutur, yang (semoga) tidak menurunkan kadar keimanan saudara.
Gerbong KRL Tanahabang-Parungpanjang,
12 Desember 2019