Jogja, 17 November 2018
Dia tentu spesial, karena jadi wanita pertama yang saya tulis di blog saya. Dan untuk sebuah alasan yang sangat sah, dia akan selalu menjadi yang paling spesial. Saya telah siapkan tulisan ini cukup lama, tapi hingga detik terakhir sebelum menerbitkannya, saya masih ragu tentang timing-nya: sekarang atau nanti? Namun saya percaya, berita baik tidak pernah terlalu cepat untuk dibagikan. Dan tibalah kami di saat ini, di hari kami bertunangan!
Menulis post ini bagi saya memiliki tantangannya tersendiri. Menggambarkannya dalam beberapa baris kalimat sepertinya tidak mungkin, karena kata-kata terlalu terbatas dan terbata. Baris-baris di bawah ini adalah testimoni saya tentang bagaimana saya melihat Adolfina Paulin Moningka sebagai individu dan sebagai anugerah dari Yang Maha Tinggi, juga bagaimana dia melihat saya dari sudut pandang yang sangat unik.
Adolfina di mata Filemon
Adolfina pertama kali saya kenal di kantor; tempat yang sama sekali tidak romantis untuk dua jiwa memulai masa perkenalan. Dia pendiam, lebih sering saya lihat punggungnya karena wajahnya kerap menghadap layar komputer. Pribadinya sulit ditebak kalau hanya mengandalkan satu-dua-tiga detik durasi percakapan kami di kantor, atau saat beberapa kali makan siang di warung belakang.
Enam bulan awal perkenalan kami memang tidak diniatkan untuk penjajakan pacaran, jadi wajar saja kami sama-sama belum mencurahkan perhatian lebih kepada gerak-gerik dan tindak-tanduk sehari-hari. Tapi perlahan saya mencoba mengenali lebih jauh lewat pintu belakang: teman kos Adolfina. Dia tinggal sekamar dengan salah satu teman kantor kami, yang dengan senang hati membocorkan sisi-sisi baik wanita yang akhirnya saya pinang ini.
Tapi tentu saya bukan orang yang terlalu mudah menarik kesimpulan setelah mendapatkan informasi dari satu sumber. Saya ajak dia jalan dong! Sejauh ingatan saya, kami pergi ke dua tempat: restoran Thailand dan Gua Maria di kampus Atma Jaya Jakarta Semanggi. Saya ingin lihat dia makan, bercerita, dan berdoa. Adolfina di mata saya yang kasmaran waktu itu sangat lembut ekspresinya dan lirih suaranya – fakta mungkin akan lain ketika kami sudah tinggal serumah. Tapi itulah impresi pertama saya.
Dia jelas wanita yang sederhana, tidak neko-neko, dan tidak terlalu cerewet. Bicara seperlunya. Itu kualitas lain yang membuat saya jatuh hati. Dia mungkin tidak habiskan terlalu banyak waktu merias diri di atas rata-rata wanita pada umumnya. Tidak penting buat saya. Yang kentara dan penting adalah kemampuan dan kesediaannya untuk mendengarkan berbagai ide, pandangan, dan cerita saya tentang banyak hal yang saya sadar cukup sedikit orang yang bisa pahami. Saya yakin di rumah kami nanti mesti ada keseimbangan yang baik antara mendengarkan dan berbicara. Dan sepertinya kami saling menemukan satu sama lain sebagai penyeimbang.
Hatinya cantik sekali. Meskipun terkadang maksud hatinya sulit tersampaikan dengan jernih lewat tutur dan lakunya, saya bersyukur tetap bisa merasakan kecantikan itu. Buat saya, meskipun terdengar gombal, saya cukup peka terhadap suara hati yang bercengkerama dengan hati orang di sekitar saya. Ini soal kebersesuaian frekuensi gelombang, dan kami bertemu di tengah.
Filemon di mata Adolfina
Suatu hari saat kami sedang video call, Yoga meminta saya untuk menuliskan tulisan tentang
dia di mata saya untuk dipublikasikan di website-nya. Tulisannya harus sepanjang satu setengah
halaman A4, single spaced, ukuran tulisan 11. Ada – ada saja, saya membatin. Tapi karena saya
sudah biasa dengan kepribadian Yoga yang sering menimbulkan pernyataan “ada – ada saja” dari setiap insan yang mengenalnya, jadi saya sudah tidak heran lagi dan mengiyakannya. Sesungguhnya saya bukanlah orang yang suka menulis. Kecuali menulis tersebut adalah sebuah kewajiban.
Anyway, saya harus mendeskripsikan pacar saya dalam kata – kata. Sulit ternyata. Karena Yoga bukan orang yang dapat didefinisikan dalam kata – kata standar “baik, pintar, dan rajin menabung” seperti deskripsi anak – anak jaman sekarang terhadap pacar idaman mereka.
Saya mengenal Yoga pertama kali saat saya baru masuk kerja, bulan Maret 2017. Kami teman satu kantor, satu divisi. Yoga masuk dua minggu lebih awal. Kesan pertama saat saya berkenalan dengan Yoga, dia orangnya serius dan punya cara berpikir yang kritis. Saya jujur agak minder karena dia punya latar belakang pendidikan yang wow dan kelihatan pintar, saya takut nggak bisa mengobrol dengan dia. Tetapi karena dia dari Klaten dan lama di Jogja, jadi saya sedikit banyak bisa mengobrol dengan dia dan teman – teman yang lain yang kebanyakan berasal dari Jogja. Ternyata setelah lama mengenal Yoga, dia orangnya tidak melulu serius, bisa bercanda juga. Standar bercandaannya terkadang terlalu tinggi atau terlalu rendah sehingga respon kami hanya dua: diam tidak mengerti atau tertawa meledek. Tetapi Yoga tidak peduli pada respon kami, dia bangga dapat melontarkan jokes menurut standarnya. Pekerjaan saya pada waktu itu sedikit berhubungan langsung dengan dia. Tetapi kami dan teman – teman lain selalu makan siang bersama. Kami sering mengobrol dan saya merasa Yoga adalah teman yang menyenangkan. Ia dapat mengobrol tentang apapun, walaupun saya lebih banyak mendengarkan. Saya menyadari Yoga memiliki cara pandang
yang unik – jika Anda mengenalnya, Anda pasti tahu yang saya maksud – terhadap dunia, terhadap orang lain, dan lingkungan di sekitarnya. Saya senang mendengarkan cerita – cerita yang ia utarakan.
Saya terinspirasi dengan cara Yoga berkontribusi dalam kegiatan sosial. Dari situ saya dapat merasakan bahwa ia memiliki hati yang besar. Ia pernah mengutarakan kepada saya bagaimana ia ingin menjadi manusia yang berguna untuk orang lain, dan saya melihat secara nyata bagaimana ia berjuang untuk itu. Saya merasa ia ingin berkontribusi lebih untuk menjadikan dunia ini lebih baik, dan saya mendukungnya.
Yoga adalah sosok pemimpin yang baik, selalu dapat diandalkan. Ia dapat mempertahankan profesionalismenya dalam hal pekerjaan. Saya rasa saya beruntung dapat mengenal Yoga secara pribadi dan profesional. Saya jadi tahu bagaimana ia bekerja, bagaimana ia berhadapan dengan masalah – masalah di kantor. Dalam hati saya mencatatnya, dan saya banyak belajar dari dia. Secara pribadi, saya juga belajar banyak. Yoga memiliki banyak pengalaman dan ia senang membagikannya dengan saya. Yoga juga memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Objektivitas seorang Yoga pun tidak perlu diragukan. Suatu hari ketika saya sedang berkeluh kesah kepadanya tentang masalah di kantor, ia berkata kepada saya bahwa ia tidak dapat memihak saya dalam masalah tersebut dan masalah – masalah lain mengenai pekerjaan. Mengapa? Karena line pekerjaannya berhubungan dengan saya dan orang – orang yang bekerja dengan saya. Belajar dari pengalaman tersebut saya membatasi keluh kesah saya tentang pekerjaan kepada dia, kecuali saat saya stuck dan butuh solusi/bantuan.
Yoga sering berkata pada saya bahwa ia bersyukur pada Tuhan karena telah dipertemukan dengan saya. Saya biasanya tersenyum lebar. Sesungguhnya, saya pun merasa sangat bersukur dengan kehadirannya. Ia mencintai saya dengan caranya sendiri. Ia membuat saya merasa lebih ‘hidup’. He was, is, and will be the bright sparks that light me up. For the rest of my life.