Pendidikan untuk Anak Kami

Masa pandemi telah membuat saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar di luar jam kerja kantor. Belajar dari buku, podcasts, proses mentoring kepada generasi yang lebih muda, dan utamanya belajar dari kehidupan. Salah satu proses belajar yang sama sekali baru bagi saya dan istri dan mungkin merupakan yang tersulit selama kami hidup, adalah belajar menjadi orang tua. Seperti kata banyak orang, banyak di antara kita yang mendidik anaknya dengan cara mereka ingin dididik oleh orang tuanya dulu ketika mereka kecil. Saya dan istri pun begitu.

Belajar bersama si miskin dan si kaya

Saya selalu bersyukur karena saya dan istri dibesarkan di dalam dua keluarga, budaya, lingkungan, dan sistem pendidikan yang cukup berbeda. Saya datang dari keluarga yang kental dengan budaya Jawa di Klaten, sedangkan istri saya dibesarkan di dua kota berbeda (Cimahi dan Yogyakarta) dalam budaya Jawa, Manado, dan Nusa Tenggara.

Dalam hal pendidikan, saya mengalami pendidikan di sekolah swasta Katholik sejak SD hingga S1 sebelum menempuh S2 di Inggris. Sementara itu, istri saya menempuh pendidikan tidak hanya di sekolah Katholik, tetapi juga di sekolah dan universitas negeri dengan tingkat keberagaman yang lebih tinggi.

Di rumah, saya sering diskusi dengan istri mengenai bagaimana kami dididik dan dibesarkan, termasuk nilai-nilai hidup yang kami warisi, syukuri, atau sayangkan telah terjadi atau tidak terjadi di masa kecil kami. Salah satu yang saya syukuri adalah kesempatan pernah belajar di sekolah di Kabupaten Klaten yang jauh dari hiruk pikuk kota, hingga di universitas di kota Manchester yang megah dan gemerlap.

Kedua situasi yang kontras ini membuat saya mengerti bagaimana bergaul dengan kawan sekelas yang sangat miskin dan harus bekerja selepas sekolah, hingga kawan yang super kaya dari Beijing atau Berlin yang siap mewarisi perusahaan orang tuanya. Pengalaman ini mungkin terdengar sederhana bagi banyak orang, tetapi bagi saya ini merupakan anugerah luar biasa yang tidak berhenti saya syukuri.

Filosofi pendidikan yang mewarnai hidup saya

Melihat ke beberapa generasi sebelum saya, jelas terlihat bahwa leluhur saya mendapatkan penghidupan yang lebih baik dari waktu ke waktu karena pendidikan yang mereka terima. Kebanyakan dari leluhur keluarga kami adalah petani, pekerja, dan guru. Mereka tidak memiliki harta berlimpah atau perusahaan untuk diwariskan, namun memberikan pendidikan dan nilai hidup kepada keturunannya. Mustahil saya dapat menikmati kehidupan saya hari ini tanpa pendidikan yang leluhur saya terima.

Saya selalu takjub dengan filosofi masyarakat China yang saya pelajari ketika belajar bahasa dan budaya Chinese di Taiwan. Orang China menggambarkan karakter huruf untuk kata “belajar” sebagai dua tangan manusia (orang tua) yang memberikan sesuatu kepada anaknya. Pendidikan bukanlah hanya soal investasi kepada diri sendiri, tetapi juga menjadi warisan untuk generasi setelah kita.

Dalam tradisi Jawa, pendidikan menurut eyang-eyang buyut leluhur saya adalah untuk membuat keturunannya menjadi orang yang “kajen“. Kata “kajen” lebih dekat dengan makna dihormati dan dihargai, daripada dengan kata kaya, sejahtera, atau pintar. Tampaknya, filosofi eyang buyut ini menjadi lebih relevan hari ini karena kebijaksanaan berpikir sekarang menjadi lebih penting daripada kecerdasan berpikir. Setidaknya menurut saya.

Dalam hal kecerdasan, manusia akan bekerja sama berdampingan dengan mesin dan komputer. Namun dalam hal kebijaksanaan, semoga manusia masih tak tergantikan oleh mesin dan komputer. Kita sudah banyak melihat manusia yang cerdas namun tidak bijak, dan dampak mengerikan yang ia berikan kepada lingkungannya, bukan?

Sekolah sebagai institusi sosial

Saya sering bingung dan bimbang soal ini, dan kerap membuat istri bingung juga. Saya sudah terpapar sistem pendidikan Ignasian yang agak ekstrem dalam hal interaksi sosial di dalam maupun di luar sekolah. Di De Britto, saya dibesarkan dalam kultur kebebasan yang kental. Bahkan kadang-kadang cenderung mengesampingkan standar kedisiplinan atau kemapanan umum, selama kami punya pertimbangan matang atas tindakan kami.

Di banyak sekolah ada program penyuluhan untuk hindarkan siswa dari narkoba dan seks bebas. Di De Britto, kami benar-benar bertemu dengan “pelaku”nya dan mendengarkan langsung enak/sakitnya menjadi pelaku tanpa batasan ketabuan umum. Kami dibawa ke tapal batas, dan disuguhi realita yang pahit supaya kelak lebih bijak ketika bersinggungan dengan kaum yang dicap pendosa kelas kakap ini.

Di banyak sekolah juga ada program live-in, siswa datang ke kampung untuk hidup bersama warga kampung dengan harapan mereka belajar hidup sederhana. Tapi saya belum pernah dengar ada sekolah yang mengirimkan siswanya hidup di lingkungan-lingkungan keras tanpa backup yang kentara dari sekolah, supaya siswa bisa belajar langsung dari situasi nyata.

Ini terjadi di SMA saya, dan adik saya saksi hidup bersama teman-temannya yang dikirim ke TPST Bantargebang, Lokalisasi Bongkaran, Pasar Tanah Abang, dan tempat “keras” lainnya 11 tahun lalu. Dua minggu kemudian, siswa-siswa ini pulang ke rumah sebagai manusia yang berbeda. Di samping menjadi lebih kotor dan kusam, adik saya membawa pulang cerita hidup yang sangat berharga untuk kami sekeluarga.

Saat terjadi bencana meletusnya gunung Merapi tahun 2010, De Britto menjadi satu-satunya sekolah di Yogyakarta yang tidak libur. Siswa justru “bersekolah” di ruang-ruang pengungsian dengan menjadi relawan. Sekolah kami menjadi salah satu pusat sirkulasi bantuan yang datang dari berbagai kota. Pilihan-pilihan kebijakan seperti ini yang tampaknya makin sulit ditemui di sekolah “berkualitas” saat ini.

Tapi menurut saya, pendidikan yang membatasi pikiran siswa di balik dinding-dinding gedung mewah tanpa memberikan kesempatan siswa berinteraksi dengan sisi gelap kehidupan, akan sulit menciptakan generasi yang bijaksana dalam mengambil keputusan di kemudian hari. Kita belajar empati bukan dari melihat video berita bencana, tapi dengan turun langsung ke lapangan dan mengotori tangan sendiri.

Pendidikan di sekolah dan di rumah

Orang mungkin berpikir bahwa sekolah hanya mengurusi isi otak saja, bukan isi hati dan jiwa. Urusan hati dan jiwa adalah tanggung jawab orang tua, dan institusi agama. Sekolah tidak boleh hanya membanggakan siswanya ketika mereka juara olimpiade, diterima di Harvard dan Oxford, atau sukses menjadi CEO, tapi melarang siswanya ikut lomba seni dan olahraga demi mendapatkan peringkat satu sebagai sekolah dengan nilai ujian nasional tertinggi. Sekolah juga harus menghargai pilihan-pilihan hidup alumninya untuk menjadi seniman atau tukang becak, dan tidak sembunyi ketika ada siswa/alumninya terlibat kasus narkoba.

Kami sadar, kalau semua orang tua punya idealisme sendiri mengenai bagaimana pendidikan harus dijalankan di sekolah, runyamlah sistem pendidikan kita. Saat ini fokus kami adalah menjadikan keluarga kami institusi pendidikan pertama anak kami, di mana kelak kami bisa dengan bebas membenturkannya kepada kerasnya dinding-dinding masalah sosial. Di saat yang sama, kami mengupayakan pendidikan yang menyeimbangkan sisi kognitif, jiwa sosial, dan keimanannya kepada Tuhan dengan memilih sekolah yang baik.

Waktunya masih cukup untuk kami berpikir, sambil menabung untuk menuju ke sana.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s