“Saya dulu pernah Katholik”

Macetnya jalanan Pondok Cabe

Aplikasi Gojek menunjukkan driver GoRide yang akan menjemput saya sudah dekat. Saya keluar rumah dan tunggu di teras, supaya segera bisa naik motor dan bergegas ke kantor di Sudirman. Pagi itu saya sudah siap dengan macet Jakarta yang makin parah sejak semakin banyak kantor menerapkan 100% work from office.

Bapak driver tiba, dan langsung menyapa selamat pagi. Setelah saya naik motornya, dia langsung tanya ke saya, “Dari paroki mana, Mas?” Saya terkejut. Dari nama yang tertera di aplikasi Gojek, saya tidak pikir Bapak ini Katholik karena tidak tertera nama baptisnya. Tapi pertanyaan Bapak ini spesifik; bukan “dari gereja mana”, alih-alih bertanya “dari paroki mana”. Kata paroki tidak seterkenal kata gereja. Dan lagi, Bapak ini tentu menebak saya seorang Katholik dari nama baptis saya “Filemon” yang tertera di aplikasi Gojek.

Saya jawab, “Ini Pak, gereja saya dekat rumah kok.” Lalu sahutnya lagi, “Oh Paroki Santo Barnabas ya, Mas?” Di titik ini, saya merasa tampaknya pembicaraan akan mengarah ke soalan agama. Saya coba tanya ke dia apakah Bapak ini orang Katholik, karena kok tampaknya pengetahuannya tentang istilah-istilah dalam gereja Katholik di atas rata-rata orang non-kristen.

“Saya dulu Katholik, Mas.” Bapak ini menjelaskan kepada saya dengan intonasi yang ringan, tanpa terdengar rasa takut akan komentar sinis yang mungkin saja datang dari saya yang seorang Katholik. Jalanan Pondok Cabe-Lebak Bulus hari itu macet parah, bukan hanya karena banyaknya kendaraan, melainkan juga karena sebagian ruas jalan yang sedang diperbaiki. Waktu tempuh yang panjang mengizinkan kami berdialog lebih intens mengenai pengalaman kami beragama.

“Saya lahir dan besar Katholik. Lalu masuk Islam ketika menikah dengan istri saya, Mas”, ungkap Bapak ini yang kemudian menjelaskan panjang-lebar mengenai di mana dia dulu dibaptis, dan oleh Romo siapa. Dengan bangga dia bercerita bagaimana keluarga orang tuanya tetap berhubungan baik hingga sekarang, sekalipun dia pindah agama sejak menikah.

Bapak ini kemudian bertutur mengenai bagaimana dia dan istrinya mendidik anak-anaknya. Betapa mereka mencoba menyemai benih-benih toleransi kepada anak-anaknya, dengan tetap berkumpul bersama sepupu yang mayoritas Katholik. Kami sepikiran bahwa anak-anak ini akan tumbuh lebih dewasa dalam beragama dan hidup sosial karena sejak kecil dihadapkan pada keberagaman.

Dari banyak pokok cerita yang Bapak ini sampaikan dalam perjalanan kami ke MRT Lebak Bulus, ada satu yang membekas jelas dan saya ingin catat dalam tulisan ini. Ada 2 hal yang Bapak driver ini hargai dari interaksinya dengan orang Katholik, baik ketika dulu dia seorang Katholik maupun setelah sekarang dia memeluk agama Islam.

1. “Teman-teman saya yang Katholik tetap menerima saya dengan baik. Saya sering diundang ikut kalau mereka ada acara kumpul-kumpul atau main bareng.” Ini mungkin terdengar biasa saja, tapi tidak bagi saya. Tetap berkawan dengan seorang yang “murtad” membutuhkan kedewasaan iman dan kebesaran hati. Kualitas yang layak dirayakan dan dilestarikan sebagai kekayaan kita.

2. “Yang saya salut dari orang Katholik, Mas; di gereja saya tidak pernah dengar Romo menjelek-jelekkan ajaran atau umat agama lain.” Saya berbagi pengalaman dan pengamatan yang serupa dengan Bapak ini. Ini tidak secara langsung berarti bahwa dia sering mendengarkan ceramah ulama di masjidnya sekarang yang menjelek-jelekkan umat agama lain. Tapi pendapatnya menyiratkan bahwa dia setidaknya pernah mendengar ceramah yang seperti itu. Selayaknyalah hal ini kita jadikan refleksi di dalam hati masing-masing saja tanpa harus saling menghakimi.

Belajar dari Bapak driver GoRide

Kedua pendapat Bapak driver GoRide di atas tentulah bukan kebenaran mutlak, melainkan sebatas refleksi pribadi beliau menjalani hidup beragama. Namun, saya lagi-lagi makin yakin bahwa setidaknya ada dua hal yang saya pelajari dari observasi beliau; sesuatu yang sering saya provokasi di rumah tangga saya dan keluarga besar saya.

1. Sebagai pemeluk agama A, kita boleh 100% tidak percaya dengan ajaran agama B. Tetapi meskipun ajaran agama B tidak kita imani, kita harus tetap 100% percaya bahwa orang beragama B bisa jadi manusia yang baik. Cara pikir ini mengizinkan coexistence , yang saya percaya lebih baik untuk dunia. Terdengar mudah, tapi sulit dalam praktik. Mesti terus dicoba.

2. Demi saling menjaga perasaan, sebaiknya jangan ucapkan kata-kata tentang sesamamu umat beragama lain di dalam dinding-dinding rumah ibadahmu, dengan cara yang membuat hatimu tidak tenang untuk mengucapkannya di depan wajah sesamamu itu secara langsung. Agak ribet memang. Maksud saya begini:

Saya tidak mendorong pembatasan topik yang dibahas dalam ceramah di rumah-rumah ibadah. Itu rumah ibadahmu, itu ajaranmu, itu jemaatmu. Tapi saya percaya selalu ada cara yang lebih baik untuk menyampaikan ceramah yang sifatnya dogmatis kepada jemaat kita, mengenai hal yang bisa saja menyakiti perasaan umat beragama lain. Jangan hanya karena hal itu disampaikan di dalam komunitas seagama di rumah ibadah, kita lepas pedal rem. Coba sampaikan itu di depan wajah saudaramu beragama lain?

Ini bukan persoalan substansi, tetapi cara penyampaian.

Pondok Cabe, Desember 2022

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s