Jika bencana dimaksudkan sebagai ‘ujian’, bagaimanakah seharusnya kita ‘belajar’?

 

Manchester, Inggris-Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Manchester, Inggris menggelar diskusi multidisipliner bertajuk ‘Belajar dari bencana: Jika bencana dimaksudkan sebagai ujian, bagaimakah seharusnya kita belajar?’ pada Jumat, 18 Maret 2016 di University Place, University of Manchester. Diskusi yang diprakarsai PPI Manchester bersama kelompok diskusi Kemisan ini merupakan diskusi rutin yang mengangkat tema-tema populer seputar permasalahan di Indonesia.

Diskusi dibagi menjadi tiga termin dengan menghadirkan tiga orang pembicara dari kalangan akademisi, praktisi, dan pemerhati kebencanaan di Indonesia. Dandi Prasetia, praktisi kebencanaan yang juga merupakan mahasiswa doktoral Global Disaster Resilience Centre di University of Huddersfield, menekankan bahwa dalam kurun waktu yang cukup singkat, Indonesia telah melalui beberapa titik acuan penting dalam proses ‘belajar bencana’ sejak 2004 hingga 2014.

Di antaranya adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana kurang lebih tiga tahun setelah tsunami dasyat meluluhlantakkan bumi Aceh. Undang-undang sebagai perangkat hukum tertinggi ini menjadi titik tolak dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) setahun berselang.

Di tataran peningkatan riset terapan terkait kebencanaan, lanjut Dandi, Indonesia juga telah melewati tonggak sejarah penting dengan ditunjuknya 12 universitas di Indonesia sebagai pusat-pusat penelitian kebencanaan pada tahun 2013. Di Yogyakarta misalnya, UPN Veteran berfokus pada erupsi gunung berapi sementara di Padang, Universitas Andalas berfokus pada abrasi dan gelombang ekstrem.

Kota Padang yang memiliki kemiripan bahaya bencana dengan Yogyakarta karena berbatasan dengan laut dan gunung berapi, menurut Faisal Ashar mahasiswa doktoral Global Disaster Resilience Centre di University of Huddersfield, telah menerapkan perubahan paradigma penanggulangan bencana dari yang reaktif dan terpusat kepada pemerintah menjadi proaktif dengan peran serta masyarakat.

Faisal melanjutkan, sekolah-sekolah di Padang tidak hanya telah menerapkan unsur-unsur penanggulangan bencana dalam struktur bangunannya, tetapi juga melakukan simulasi kesiapsiagaan bencana bersama-sama para siswa. Ini sangat penting, terutama bila saat gempa terjadi para siswa sedang berada di sekolah, para orang tua tidak mengalami kesulitan menghubungi anaknya di sekolah karena para guru telah sigap menjadikan sekolah sebagai shelter terdekat.

Picture1

Kabut asap akibat kebakaran hutan.

Bukannya tanpa tantangan, ‘belajar bencana’ di Indonesia menemui berbagai kerikil dalam prosesnya. Seperti yang diungkapkan Dr. Alma Adventa yang juga merupakan pengamat lingkungan dan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah, lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintah daerah sebagai stakeholders penanggulangan bencana daerah memperlambat proses evakuasi untuk meminimalisasi kerugian yang timbul saat bencana terjadi.

Untuk itu, Alma berharap, peran media masa saat bencana berkepanjangan, seperti saat kebakaran hutan di Kalimantan Tengah, benar-benar bisa memberikan gambaran berimbang dan faktual tentang permasalahan di lapangan dan memicu koordinasi yang lebih baik antarlembaga pemerintah daerah tanpa terkesan menyederhanakan masalah.

Kesiapan dan koordinasi antara pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan seperti BNPB dan BMKG dalam hal ini menjadi kunci. “Di samping kesiapan masyarakat menghadapi bencana, kesiapan koordinasi pemerintah daerah juga perlu disimulasikan untuk menekan ego sektoral saat gotong royong menghadapi bencana”, tukas Yoga Adhisatya, Presiden PPI Manchester yang bertindak sebagai moderator diskusi, menutup diskusi ini.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s