Mendengar vs Mendengarkan

Bagi saya menjalani pendidikan di luar negeri bukan melulu soal hal-hal yang luxurious. Mungkin orang bayangkan saya hidup di negara yang lebih teratur, tertata, bersih, dan berbagai kelebihan lain bila dibandingkan dengan Tanah Air. Tidak salah beranggapan seperti itu; kenyataannya memang banyak hal positif yang bisa saya ambil dari belajar dan tinggal di Inggris.

Akan tetapi dalam banyak kesempatan justru saya menemukan berlian-berlian kebijaksanaan dari orang-orang yang sangat sederhana. Banyak pelajaran yang pelan-pelan akan saya tuliskan selagi ada waktu untuk bertutur lewat tulisan. Kali ini tentang seorang sahabat yang sangat khusus: Mas Muhammad.


Screen Shot 2016-05-17 at 15.40.48

Mas Muhammad dan saya yang ‘menantang bom’ di Old Trafford.

Dalam sebuah ibadah Kristiani di rumah salah satu keluarga Indonesia di Manchester, saya beruntung bertemu dengan dua orang tamu inspiratif hari itu. Seorang namanya Nick, pemegang gelar doktor asal UK yang sedang meneliti Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Yang lain namanya Mas Muhammad. Beliau sedang berkunjung ke UK selama dua minggu untuk membantu Nick dalam penelitiannya.

Kedua tamu ini tuli and they are proud to be ones.

Ini sisi menarik tinggal di Inggris: kalau Anda bertemu seorang Indonesia di sini, pasti ada sebuah alasan sahih, unik, dan keren yang membawanya menjauh ribuan kilometer dari Nusantara. Benar saja, Mas Muhammad yang ‘hanya’ tamat SMP ini adalah aktivis tuli yang sudah bergerak secara masif di beberapa kota di Indonesia untuk memberikan akses pendidikan bagi anak-anak tuli.

Ayah dua orang anak dari Solo ini bisu dan tuli. Meski demikian, beliau tetap berusaha berbicara dengan saya lewat kata-kata dan bantuan bahasa isyarat yang orang umum mengerti. Sakit rasanya ketika komunikasi antara dua orang yang bertetangga dekat di Indonesia harus terhambat karena saya tidak bisa berbahasa isyarat. Lebih miris lagi, saya mendengar dari Nick dan Muhammad bahwa hanya ada sekitar 5 orang professional interpreter di Indonesia dengan penduduk lebih dari 250.000.000 jiwa. Bandingkan dengan Inggris yang punya 800-900 orang professional interpreter meski penduduknya ‘hanya’ sekitar 60.000.000. What on earth is going on?!

Betapa mustahilnya bagi seorang Mas Muhammad untuk masuk ke SMA terbaik di kotanya, hanya karena kita tidak mengerti apa yang dia katakan. Beliau ditolak untuk masuk SMA di Solo karena sekolah tidak mampu memfasilitasi siswa tuli. Betapa kita telah secara sadar (atau tidak?) membatasi mimpi anak-anak tuli Indonesia untuk menjadi kebanggaan keluarga di tengah cacian dan hujatan orang yang memberi mereka stigma ‘sakit’. Saya adalah bagian dari kita itu, yang tidak pernah sedikitpun memikirkan betapa beratnya hidup dengan mimpi yang terkekang-sampai saat saya bertemu Mas Muhammad yang datang bagai tamparan keras.

Screen Shot 2016-05-17 at 16.34.23

Nick, me and Mas Muhammad

Di belahan dunia lain, Nick yang juga tuli berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 di universitas terbaik di Inggris: Cambridge. Lalu lanjut ke jenjang master dan doktoral dengan dukungan dan akses yang memadai dari negaranya. Benar, ketersediaan akses pendidikan bagi orang tuli di Indonesia tentu harus jadi fokus studi ketulian. Lebih spesifik lagi, pengembangan Bisindo sebagai bahasa nasional orang tuli di Indonesia harus segera dikebut. Nick menjelaskan bahwa seperti para pendahulu kita yang menciptakan Bahasa Indonesia sebagai lingua franca, Nick dan beberapa aktivis tuli di Indonesia sedang bekerja keras mendokumentasikan, meneliti, dan berusaha menciptakan standar Bisindo yang akan sangat berguna bagi orang tuli Indonesia kelak.

Tapi masalah akses hanyalah puncak dari gunung es. Hambatan bagi para orang tuli Indonesia menggapai mimpinya ada pada pola pikir dan cara pandang kita. Kita yang bisa mendengar tapi tidak mau mendengarkan. Saya, dan banyak di antara kita mungkin menganggap kata ‘tuli’ lebih dekat dengan umpatan, sedangkan ‘tunarungu’ menawarkan kesopanan. It’s completely the other way around!

Nick dan Mas Muhammad mengajarkan pada saya bahwa orang tuli ingin dipandang berdaya, dan ingin diberdayakan. Mereka mampu menjadi apapun yang mereka mau. Mereka bukan orang sakit yang harus disembuhkan. Atau orang terkutuk yang harus disingkirkan. Mereka punya segalanya kecuali pendengaran yang sempurna. Mereka menerima ketulian sebagai anugerah yang istimewa dari Tuhan-yang di saat yang sama memberikan kepekaan dan kelebihan lain yang dilengkapkan pada hidup mereka.

Mulai sekarang pilihlah kata tuli daripada tunarungu. Ubah cara pandang kita terhadap mereka. Kadang mungkin kita melihat orang tuli yang wajahnya banyak bergerak ketika berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, sembari tangannya menjadi ‘lidah’ utama untuk berucap. Jangan salah paham, bagi orang tuli ekspresi wajah adalah ‘lidah’ kedua mereka. Jangan mengejek mereka karena terlihat terlalu ekspresif ketika berbahasa isyarat. Kalau punya waktu, belajarlah bahasa isyarat Indonesia dasar. It takes you (and me) only three months. Bayangkan sebuah dunia di mana semua orang bisa berbahasa isyarat?


“Bayangkan sebuah dunia di mana semua orang bisa berbahasa isyarat?”

2 respons untuk ‘Mendengar vs Mendengarkan

  1. mikebm berkata:

    Sangat sepakat…. saya baru 2 bulan ini magang di badan seni di London yang mengusahakan akses bagi orang-orang tuli dan kesulitan mendengar untuk menikmati sajian kesenian di Inggris. Sungguh belajar banyak dari bagaimana akses dan upaya tersebut menjadi cita-cita utama dalam hidup organisasi ini untuk menciptakan teater dan pertunjukan yang ramah bagi orang-orang tuli. Bertemu dengan kolega yang juga tulis dan menggunakan BSL pun juga menjadi sarana belajar bagi saya… Sungguh kita harus banyak belajar!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s